Part 1

4.7K 199 4
                                    

Auriga

Dengan kepercayaan yang tinggi, gue pergi melangkahkan kaki menuju kelas 12 IPA C yang terletak di lantai dua gedung sekolah. Bagi gue, berantem adalah hal paling menyenangkan setelah makan. Dan urutan ketiganya adalah ... belajar. Iya, gue emang suka belajar. Karena itu, nilai gue selalu diatas rata-rata dan sering dibanggain orang tua sama guru. Tapi, di mata guru, selain pinter gue juga nakal pake banget.

"Mentang-mentang bisa taekwondo," gerutu gue sambil terus berjalan melewati koridor kelas 11 IPS.

Cewek itu. Cewek sialan yang suka nantangin gue berantem, dia adalah cewek paling menyebalkan yang pernah gue temuin selain perempuan yang suka ngangetin suaranya kalo lagi telepon orang nggak diangkat.

Galexia Azura.

Cantik? Gue akuin itu, bahkan seluruh sekolah juga ngakuin. Nakal? Jangan tanya lagi. Sebelas dua belas sama gue. Bahkan, catatan BK nya aja lebih banyak dari pada gue. Cewek dengan tubuh langsing dan berkulit putih yang sayangnya ngeselin itu, adik kelas yang kelewat berani sama kakak kelas kayak gue ini.

Bentar. Gue ngelewatin kelas gue.

Gue berbalik dan segera masuk ke 12 IPA C. Disana, Pak Septian lagi ngisi pelajaran di kelas gue. Tapi, gue nggak takut. Beliau salah satu guru yang nggak terlalu suka ambil pusing. Gue nakal cuma dipelototin aja dan nggak pernah dihukum.

"Dari mana kamu?" tanya beliau dengan suara tegasnya.

"Halaman belakang, Pak," gue berjalan melewati guru tersebut dan langsung mengambil tas gue di sebelah kursi yang ditempati Tarendra—temen gue.

"Yaudah, Pak. Saya pamit dulu, lagian ini juga saya lagi dihukum sama Bu Im buat bersihin toilet," kata gue berbohong.

Pak Septian hanya menghembuskan napas berat dan menyuruh gue pergi dengan isyarat tangannya. Sebelum pergi, gue ngelirik Tarendra yang sibuk memainkan ponselnya di bawah meja.

"Gue tunggu di gerbang. Ajak Leo!"

Setelah Tarendra menjawab pernyataan gue dengan jempolnya, gue langsung pergi meninggalkan kelas. Di perjalanan menuju gerbang sekolah, mata gue nggak sengaja ngelirik cewek sialan yang ada di halaman belakang sekolah tadi sedang meninju-ninjukan tangannya ke udara.

"Ih, lagaknya aja latihan. Ntar kalo kalah juga nangis," gumam gue sambil terus berjalan menghampiri dia.

"Latihan aja terus, sampe mampus!" celetuk gue sambil menyeringai.

Gue bisa denger kalo cewek yang akrab disapa Azura itu sedang mendengus. Gue memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana dan terus berjalan menuju gerbang sekolah. Sepuluh menit lagi bel pulang bunyi. Dan gue nggak sabar buat adu jotos sama Azura.

ΦΦΦ

Azura

"Njir!" umpat Cherise yang kesekian kalinya. Gue memutar bola mata dan langsung menarik ujung rambut Cherise yang terselip di telinganya.

"Berisik tau gak! Kita bisa!" ujar gue meyakinkan.

"Gue sakit bego! Ngapain lo maksa gue nantangin si Riga lagi sih?!"

Gue menyipitkan mata dan langsung menarik pergelangan tangan Cherise untuk masuk ke dalam gudang sebelah sekolah. Alasan gue nggak suka gudang ini adalah...

1. Gue nggak suka kotor,
2. Tempatnya sempit,
3. Gue nggak suka suasana horor.

"Tuh mereka!" tunjuk Cherise menggunakan bibir seksinya.

Gue menatap Auriga, Tarendra, dan Leo yang berjalan angkuh menuju posisi gue. Mereka bertiga menampakkan wajah meremehkan kepada gue dan Cherise. Sedangkan gue cuma menatap dingin ke arah mereka.

"Udah siap kan?" tanya Auriga sambil menyeringai, "Tadi kan udah latihan," lanjutnya dengan ejekan.

Kedua alis gue terangkat, "Baru menang empat kali aja udah sombong!"

Cowok yang berdiri di samping kanan Auriga itu hendak melangkah sambil menunjuk gue, namun gerakannya terhenti saat tangan Auriga mengisyaratkannya untuk berhenti. Dan cowok bernama Leo itu menurutinya.

"Tinggal tunggu apa lagi? Gue pengen tidur di rumah," ujar Cherise lalu menonjok keras rahang Tarendra.

Tarendra yang tidak siap itu kini termundur beberapa langkah akibat tonjokan tadi. Kemudian gue menatap Auriga sambil tersenyum sinis untuk memberi celah kesempatan agar emosinya terpancing.

"Mana temen lo yang satu?" tanya Auriga dengan nada yang sedikit lebih keras.

"Althea lagi ada urusan," jawab gue.

Dengan kecepatan penuh, gue langsung ngedorong Auriga dan Leo bersamaan dengan suara tonjokan dari Tarendra. Dengan tangan kanan terkepal kuat, gue langsung memberi satu tonjokan di perut Leo dan satu tonjokan lain di rahang kirinya.

Leo meringis kesakitan, sedangkan Auriga menendang kaki gue dan mencengkram lengan kiri gue. Wajah humoris Tarendra dan Leo tergantikan oleh wajah tidak bersahabat saat bertarung melawan musuh.

Game Over (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang