Part 30

1.3K 58 0
                                    

Azura

Sesampainya gue di rumah, gue menghempaskan tubuh ke sofa empuk berwarna putih ini. Berdiri selama lebih dari lima belas menit udah bikin tubuh gue seperti patah tulang. Ditambah lagi dengan pergelangan kaki gue yang tak kunjung sembuh. Padahal setiap malem, gue mengobatinya dengan cara mengompres dengan air hangat. Tapi hasilnya nihil juga.

HP gue bergetar. Gue merogoh saku rok dan melihat pop-up di layar HP gue. Rupanya sahabat gue udah mulai gilanya.

Cherise_A : WOI! NTAR MALEM KALIAN IKUT GUE! WAJIB!!!

Altheazz : Apaan sih?! Dieeemmm!!!

Cherise_A : Ada diskonan wihhh!

Altheazz : Yg bener? Dimana?!!

Cherise_A : Mall biasa. Kesana yuk!

Altheazz : Jam brp? Gue belajar nih, besok ulangan Geografi.

Cherise_A : Setengah tujuh. Gue jemput kalian semua!

Altheazz : Kalo gitu gue mau belajar sekarang.

Cherise_A : Serah lu.

Azuragalx : Berisik!

Altheazz : Ikut ngga?

Cherise_A : Ikut lah! Ikut dong! Ikut ya!

Azuragalx : Hm.

Cherise_A : Ok. Ntar gue jemput jam enam.

Setelah melihat balasan dari Cherise, gue memasukkan HP ke dalam saku dan beranjak berdiri. Gue berderap menuju kamar dengan jalan yang sedikit tertatih-tatih. Beberapa kali gue berhenti agar rasa sakit di pergelangan kaki gue bisa sedikit hilang.

"NON, MAKAN DULU!" teriak Bi Ana dari bawah.

"IYA. ARA MANDI DULU!"

Setelah itu gue langsung membuka pintu kamar dan kembali menghempaskan tubuh di atas kasur empuk gue. Beberapa hari ini, gue bingung dengan sikap Auriga ke gue. Tiba-tiba manis dan suka ketawa. Gue juga heran dengan diri gue sendiri yang hanya diam diperlakukan manis dengan musuh sendiri.

Daripada gue terus memikirkan Auriga, lebih baik gue pergi ke kamar mandi dan langsung membersihkan diri. Sepuluh menit sudah gue berada di dalam kamar mandi. Gue mengganti pakaian dengan kaos santai dan celana pendek.

Setibanya gue di ruang makan, Bi Ana sedang sibuk menelpon seseorang. Bisa dilihat wajahnya begitu cemas. Gue mengambil nasi dan sesekali melirik Bi Ana yang masih berbincang serius dengan orang di seberang sana. Baru aja gue menyuapkan dua sendok nasi ke dalam mulut, Bi Ana menghampiri gue dengan mata merah.

"Non, Bibi mau pulang kampung selama tiga hari, boleh? Anak Bibi kecelakaan," ucapnya dengan suara bergetar.

Sontak gue langsung berdiri dan berlari menuju kamar. Saat di kamar, gue mengambil beberapa uang dan kembali menuju ruang makan. Disana Bi Ana sudah membawa tasnya dan berdiri di dekat meja makan.

"Ini buat Bibi. Salam ya ke anak Bibi," gue menyodorkan uang tersebut.

Awalnya Bi Ana menolak, tapi gue tetep memaksa untuk segera mengambilnya. Kemudian Bi Ana berpamitan dan pergi keluar rumah. Gue melanjutkan makan dan sesekali tersenyum melihat Putih sedang bermain di halaman belakang. Kini, hanya tinggal gue dan Putih yang ada di rumah ini.

Seusai makan, gue kembali menuju lantai dua untuk menyibukkan diri dengan olahraga sebentar. Gue pergi ke kamar sebentar untuk mengambil HP dan headset, kemudian gue melangkahkan kaki ke ruangan olahraga.

Gue menyetel musik dan menaiki sepeda statis disana. Gue mengayuh sepeda itu dengan tenang sambil memejamkan mata menikmati alunan musik di telinga gue. Selama lima menit gue mengayuh sepeda statis, pikiran gue kembali rileks. Dan tiba-tiba HP gue berdering, itu membuat emosi gue naik.

Gue melihat caller ID yang terpampang di layar HP gue. Dengan malas gue menggeser tombol hijau dan menempelkan HP ke telinga.

"Halo."

"Ra, Papa udah hampir nyampe rumah, nih."

"Papa?!"

"Kamu di rumah kan? Tunggu Papa ya."

Gue langsung memutus panggilan secara sepihak. Baru aja pikiran gue tenang, kini kembali terusik lagi dengan kehadiran Papa. Mungkin nggak pantes menyebut Papa sendiri itu pengganggu. Tapi itu yang gue rasain selama ini, Papa cuma pulang tiga bulan sekali dan hanya menghidupi gue dengan mentrasfer uang sepuluh juta per bulan. Gue nggak habis pikir, kemana arah jalan pikiran Papa sekarang?

Gue segera turun ke bawah saat mendengar suara bel pintu berbunyi. Gue yakin itu Papa. Saat membuka pintu, gue membulatkan mata sempurna saat melihat Papa tidak sendiri. Tangan gue memegang handle pintu semakin erat saat melihat wajah itu.

"Mikko?"

Game Over (Completed)Where stories live. Discover now