Part 20

2K 97 2
                                    

Auriga

Melihat Azura dan teman-temannya berlatih menjadi Pasukan pengibar bendera, gue sebenernya merasa lucu dengernya. Mana bisa cewek bandel (baca: Azura & Cherise) di sekolah bisa melakukan hal seperti itu. Bukan maksud gue sombong, tapi kenyataannya sekarang mereka terus melakukan kesalahan saat jalan di tempat dan itu bikin gue pengen makan tuh anak.

"Kalo kalian gak kompak kayak percobaan ketiga tadi, gue bakal biarin kalian latihan sampe sore nanti," kata gue memperingatkan.

"Trus aja ngoceh! Nggak liat keringet kita udah kayak banjir gini?!" protes Azura.

Gue hanya tersenyum sinis mendengarnya. Leo dan Tarendra terus menyemangati mereka dan sesekali memberi gurauan agar tidak merasa terlalu lelah. Althea dan Cherise tentu menyambutnya dengan senang hati, sedangkan Azura malah mencibir dan terus menatap gue tajam.

Satu jam berlalu, kami berenam memutuskan untuk menghentikan latihan hari ini. Gue lihat Azura duduk berselonjor di pinggir lapangan dan menyuruh kedua temannya untuk pulang duluan. Dan saat itu juga gue menyuruh Leo dan Tarendra untuk pulang lebih dulu.

"Ntar gue nyusul. Jam tujuh kan ke rumah lo?"

"Iya. Jangan lupa bawa makanan ya?!" Tarendra memasang puppy face nya.

Gue mengangguk lalu mengusir mereka dengan isyarat tangan. Setelah kepergian mereka, gue segera menghampiri Azura yang memijat kakinya dan sesekali menyeka keringat di dahi. Gue jadi merasa bersalah.

"Katanya pinter taekwondo, kok latihan Paskib aja langsung tepar?" sindir gue.

Azura mendongak dan menyipitkan mata. Tanpa perlu tau persetujuan dia, gue langsung duduk di sebelahnya sambil menatap lurus ke depan. Azura mengatur napasnya dan merapikan rambutnya yang lepas dari ikatan.

"Setiap orang punya kelemahan," ucapnya.

Sampai sekarang, gue masih nggak tau kenapa perasaan gue berasa hangat kalau deket dengan Azura.

"Dan gue punya itu," lanjutnya, "Sshh, susah banget!" gerutunya.

Gue menoleh dan mendapati Azura kesusahan membenarkan kuncir rambutnya. Gue mengulurkan tangan dan menurunkan tangan Azura. Kemudian gue merapikan rambutnya dan menjumputnya menjadi satu.

"Kayak gue juga punya kelemahan," kata gue sambil mencoba mengikat rambut Azura.

"Apa?"

"Kelemahan gue itu elo," dan rambut Azura telah terikat rapi.

ΦΦΦ

Azura

Tubuh gue terasa hangat waktu Auriga membantu gue untuk menguncir rambut gue. Dia melakukannya dengan hati-hati dan pelan. Tiba-tiba aja keadaan itu menjadi awkward saat Auriga mengatakan tentang kelemahannya.

"Apa?" tanya gue.

Auriga terdiam sebentar masih dengan tangan yang sibuk mengikat rambut gue.

"Kelemahan gue itu elo."

Duar! Gue ngerasa tubuh gue saat itu langsung meledak saat Auriga mengatakan hal itu. Bukan berarti gue terlalu pede, tapi jujur gue ngerasa pasokan udara di sekitar gue menipis. Kedengeran berlebihan, tapi itu yang gue rasain sekarang. Dead air!

"M-makasih," ucap gue setelah Auriga menyelesaikan ikatan di rambut gue.

Gue bangkit dan langsung pergi mengambil tas di sampin gue. Saat ini gue harus jauh-jauh dulu dari Auriga, agar pasokan oksigen di tubuh gue kembali normal. Dia bahaya buat kesehatan.

"Kaki lo kenapa?"

Gue menghentikan langkah dan menunduk melihat pergelangan kaki kanan gue. Lebam. Gue baru inget kalau tadi jatuh waktu coba kabur dari Auriga.

"Oh ini. Jatoh tadi," setelah itu gue pergi meninggalkan cowok itu sendiri di pinggir lapangan.

Untung gerbang sekolah masih belum ditutup oleh Pak Dono, jadi gue segera berjalan keluar gerbang dan mencari angkutan umum untuk pulang. Gue melirik jam tangan di pergelangan tangan kiri gue, udah jam empat.

"Sendirian aja neng?"

Gue berjengit kaget saat tiba-tiba Auriga berada di sebelah gue dengan motor ninjanya. Dia tersenyum dan menyodorkan jaket ke arah gue.

"Naik. Jaketnya taruh di atas paha lo, biar nggak keliatan," ujarnya.

Gue ingin protes, tapi Auriga udah melempar jaketnya ke wajah gue. Dan kemudian dia menarik paksa tangan gue agar naik ke atas motornya. Gue membenarkan posisi duduk gue, kemudian menutup paha dengan jaket yang diberikan Auriga.

"Pegangan, gue ngebut."

Setelah itu gue menurutinya dengan berpegang pada tasnya. Bener aja, kecepatan motornya hampir mencapai 80 km/jam. Gue udah teriak-teriak tapi dia malah ketawa. Untung gue sampai rumah dengan selamat dan gue heran dari mana dia tau alamat rumah gue.

Game Over (Completed)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant