Part 26

1.9K 96 2
                                    

Azura

"Terima kasih."

Setelah gue mengucap terima kasih pada Mama Auriga, gue meminum susu itu dalam dua tegukan. Lumayan, gue dari tadi juga haus. Apalagi harus berhadapan dengan dua cowok yang wajahnya nggak beda jauh. Sama-sama ganteng.

"Riga, nanti antar temen kamu pulang ya," pinta Mama Auriga.

Gue mengusap mulut setelah minum tadi. Auriga hanya mengangguk lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. Sedangkan Kak Vero masih betah meneliti gue dari atas sampai bawah.

"Mmm... Tante, Azura pulang dulu ya," pamit gue.

Mama Auriga mengangkat kedua alisnya, "Lho, ini udah malem loh. Kamu nggak capek?"

"Enggak kok, Tan. Takut ngerepotin," balas gue sambil menggaruk pelipis yang nggak gatel sama sekali.

"Oh yaudah. Auriga, anter Azura pulang ya. Ini udah malem," kata Mama Auriga.

Auriga mengangguk lalu beranjak berdiri. Mama dan Kakaknya juga mengantar gue sampai pekarang rumah dan melempar senyum pada gue.

"Tante, Azura pulang dulu ya. Salam buat Om," gue mecium punggung tangannya.

"Kak, aku pulang dulu," kata gue tersenyum pada Kak Vero.

Kak Vero mengangguk dan tersenyum. Gue segera menghampiri Auriga yang sudah siap di atas motornya. Saat gue menaiki motornya, sebenarnya kaki gue bener-bener sakit. Tapi gue cepat-cepat menormalkan air wajah dan membenarkan posisi duduk. Auriga hanya diam dan tidak menyalakan mesin motornya.

"Ga, kita nggak jalan?" tanya gue sambil melirik kaca spion.

"Gak usah disembunyiin," jawabnya.

Gue menahan napas, mengerti arah pembicaraan Auriga. Kaki gue emang sakit banget tapi masih bisa gue tahan. Gue menoleh ke belakang, Mama Auriga dan Kak Vero udah masuk. Tinggal gue dan Auriga yang masih diam di atas motor dengan suasana hening.

"Apanya yang disembunyiin? Ngaco lo," balas gue.

Auriga hanya mendengus lalu menyalakan mesin motor. Gue bisa bernapas lega saat Auriga tidak membahas obrolan itu. Dia menjalankan motor dengan kecepatan tinggi. Selama perjalanan, gue dan Auriga nggak ada yang membuka obrolan sama sekali.

Setibanya di rumah gue, Bi Ana langsung menyambut gue dengan wajah cemas yang kentara. Bi Ana meneliti secara keseluruhan tubuh gue dan sesekali memutarnya.

"Aku nggak papa, Bi," ucap gue.

"Nggak percaya."

Gue melepas pegangan Bi Ana di bahu gue. Bi Ana menghembuskan napas dan menunduk seperti memperhatikan sesuatu.

"Tuh kan. Ini kena apa?" Bi Ana berjongkok dan memegangi pergelangan kaki kanan gue yang bengkak dan lebam.

Gue sedikit meringis waktu Bi Ana menyentuhnya. Sakit bener! Gue melirik Auriga yang sibuk memainkan HPnya. Untung dia nggak liat gue yang lagi nahan sakit.

"Ih, nggak apa-apa ini. Bi Ana nggak usah khawatir gitu," kata gue.

Bi Ana kembali berdiri lalu mengambil alih kantong kresek di tangan gue. Bi Ana menyapa Auriga lalu masuk ke dalam rumah.

"Makasih," ucap gue pada Auriga.

Dia hanya diam sambil terus menatap gue. Auriga membasahi bibir bawahnya lalu mengerjap beberapa kali.

Dia kenapa sih?

Gue menyentil dahinya lalu menyuruh Auriga pulang karena sudah malam. Auriga hanya berdehem lalu maju dengan langkah lebar ke arah gue. Gue mengernyit tidak mengerti. Tubuhnya yang tinggi menghalangi pandangan gue. Jadi gue hanya bisa melihat leher jenjangnya dengan jakun yang bergerak.

"Kenapa?" tanya gue sedikit gugup dengan jarak sedekat ini.

Gue bisa merasakan hembusan napas Auriga di atas puncak kepala gue. Kemudian satu tangan Auriga bergerak mengelus rambut gue dan saat itu juga keringat dingin gue muncul. Gue menggigit bibir bawah lalu mendorong pelan dada Auriga agar bisa menjauh.

"Galexia Azura."

Gue mendongak menatap Auriga. Tangan Auriga bergerak menyapu bibir bawah gue dan mensejajarkan wajahnya dengan gue. Gue menelan ludah susah payah dan memberanikan menatap Auriga dalam jarak sedekat ini. Nggak bisa dibohongi, emang wajah Auriga bener-bener ganteng. Pantes aja cewek-cewek di sekolah sampai membentuk fans club untuk Auriga. Auriganatic.

Auriga masih menatap gue lekat-lekat dan sedikit memiringkan kepalanya. Dia bergerak maju dan gue otomatis memundurkan kepala sedikit. Rupanya dia bergerak ke arah samping gue, tepatnya di telinga. Gue menahan napas bersiap mengambil resiko mendengarkan kalimat Auriga sebentar lagi.

"Kalo gue suka sama lo gimana?"

Game Over (Completed)Where stories live. Discover now