39. PETUNJUK

9.1K 769 61
                                    

Kehilangan memang tidak pernah mudah. Seberapa kuatpun kamu mencoba mengikhlaskan, rasa kosong dan sepi tetap akan menyusup sampai kamu benar-benar sadar bahwa kamu tidak bisa bersama mereka lagi.
*********

Suasana haru memenuhi daerah pemakaman sore ini. Orang tua Melly dan Rani beserta kerabatnya turut serta mengantarkan putri mereka ke peristirahatan terakhirnya. Langit mendung seolah mendukung betapa sedihnya keluarga serta teman yang ditinggalkan. Isak tangis para pelayat turut mengiringi pelepasan Melly dan Rani untuk selamanya.

Guin bersandar sambil terisak di dekapan Jennifer. Ibunya, sedari tadi tiada henti menguatkan Guin agar ikhlas. Kehilangan memang menyakitkan, namun hidup harus terus berjalan. Mereka berdua ikut memberikan bunga serta memanjatkan doa untuk Melly dan Rani.

"Tante, Om. Saya Guin, saya sahabatnya Melly dan Rani" Guin memberi salam kepada kedua orangtua sahabatnya."Melly dan Rani sangat baik, saya merasa beruntung bisa mengenal mereka. Hiks" tak kuasa menahan tangis, Guin menutup mulutnya agar suaranya tak terdengar menyedihkan.

"Guin, jika ada kata-kata atau sikap Melly dan Rani yang melukai kamu, tolong dimaafkan ya." Ibu Melly, Tante Fara namanya. Beliau mengelus pundak Guin pelan. "Melly adalah putri kami satu-satunya, dia sering bercerita tentang kamu dan Rani. Terimakasih, kamu sudah menemani Melly selama ini.  Tante, hiks. Tante sangat menyayangi Melly".

"Kita harus kuat mbak, demi Melly, demi Rani" ibu Rani, Tante Agnes namanya. Memeluk erat Tante Fara. Mereka sama-sama terisak. Guin yang melihatnya menjadi semakin terluka. Kehilangan memang tidak pernah mudah.

Sebelum benar-benar pergi dari area pemakaman, Guin yang sedang digandeng oleh Jennifer, menoleh sebentar kearah kedua nisan sahabatnya.

"Melly, Rani. Selamat tinggal." Guin memaksakan senyumnya untuk terakhir kali. Ia bisa melihat bayangan Melly dan Rani yang juga ikut tersenyum kepadanya.

"Hiks, hiks" Guin berlalu. Dalam hatinya ia berjanji,  akan mencari tahu penyebab kematian kedua sahabatnya.

_____________________________________

Paginya, Guin pergi ke kampus seperti biasa. Ia diantar oleh Jennifer hingga ke kelasnya. Membuat beberapa orang menaruh atensi terhadap mereka.

"Guinnn..."teriak Galih dari kejauhan. Lelaki itu berlari menuju depan ruang kelas Guin berada. "eh, tante..maaf .. saya Galih, temannya Guin" Galih memasang senyum terbaiknya.

"Oh, Sure. I'm her mother."Jennifer memindai Galih perlahan sebelum menatap ke arah Guin meminta konfirmasi. Putrinya mengangguk mengiyakan."Okay, So, Gallih. Tolong hibur Guin, kalau dia sampai menangis lagi. Habis kau!" Galih berjengkit kaget.
Jennifer melotot ke arahnya sebelum berlalu.

"See you my dear," ia melambaikan tangannya ke arah Guin sebelum berlalu ke parkiran kampus.

"Buset, beneran emak Lo? Bule abis.. dan galak abis" Galih mendekati Guin yang terlihat tak bersemangat. Gadis itu hanya murung dengan tatapan tidak fokus. Bagaimanapun, ia juga merasa kehilangan atas Rani dan Melly. Namun sebagai pria ia tidak bisa mengeluarkan ekspresi kehilangannya dengan begitu kentara. Ia hanya bisa memendamnya, betapa ia merasa sangat kesepian dan kehilangan.

"Ekhemm, woi.. Guin. Ada yang mau gue kasih tau nih, soal kecelakaan itu" Guin mendongak menatap Galih. Binar matanya mulai menyala tanda bahwa ia tertarik dengan percakapanku ini.

"Apa lih, jelasin ke gue." Tagih Guin.

"Jadi, hari itu setelah class meeting" Galih menerawang kejadian beberapa hari lalu saat ia bertemu dengan Melly dan Rani. " Melly ngabarin gue kalo Lo cedera, dia takut hal itu berpengaruh sama tulang rusuk Lo yang kemarin retak. Akhirnya kita bertiga janjian buat jenguk Lo. Tapi kita nggak tahu Lo dimana. Singkat cerita kita coba nanya Gabriel, tapi dia juga enggak tahu."

The Minister is MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang