5. The man who infinite

22.7K 1.7K 38
                                    

"Jika kamu hanya datang untuk memberiku kenyamanan sementara, lebih baik kamu berhenti. Bagaimanapun juga Aku ini wanita, yang kalau sudah sayang susah move on"

-------

Guin masih merasa semua ini tidak nyata, pertemuannya dengan Air kemarin seperti mimpi indah yang membuat Guin selalu tersenyum. Meski sebagian dari jiwanya merasa marah pada pria itu. Tetapi tetap saja wanita itu tercipta untuk merasa baper, jadi jangan salahkan Guin jika ia merasa baper setelah pria itu mengantarnya malam itu. Tidak ada percakapan khusus diantara mereka kemarin, Air hanya menanyakan keseharian Guin dan tempat tinggal gadis itu.
Guin memang sempat memberontak dan meneriaki Airlangga malam itu, ia melampiaskan semua kekecewaannya pada Airlangga. Tapi Guin tidak memberitahu pria itu apa yang terjadi pada keluarganya.
Tidak, Guin tidak sanggup.

"Hayooo, ngelamun apa Lo Guin? Pake senyum senyum meong segala" tanpa aba-aba Galih duduk di samping Guin, Ia mengabaikan delikan tajam Guin, lalu mulai memakan baksonya dalam diam.

"Lih"

"Hmmm" Galih masih menikmati baksonya, jadi dia tidak menggubris terlalu banyak.

"Gue setuju sama usul Lo soal pemateri."

Galih meminum es jeruknya terlebih dahulu baru membalas perkataan Guin.

"Kenapa? Kemaren aja Lo sampai masang muka singa buat nentang beliau, sekarang kenapa tiba-tiba jadi muka kelinci gitu?. Lo baru sadar beliau ini sosok ideal masadepan Lo?"

"Apa gue harus bilang kalo dia udah jadi tunangan gue, biar Lo nggak heran pas seorang Guinina mendukung karir seorang bapak Airlangga?"

"Laper Lo ya, ngaco Mulu. Makan dulu sanaahh, manggil aja masih bapak sok berlagak tunangan, cihh"

"Galih, cintanya, sayangnya Mimi perii.. gue serius setuju nih, sekarang Lo tinggal bilang gue bantu apaan" Guin merapatkan kursinya ke dekat Galih, ia menatap wajah Galih yang seakan mau muntah melihat ke absurdan Guin.

"Oke. Sekarang Lo coba buat surat ke asisten beliau. 3 pemateri lain udah di kasih undangan, udah konfirmasi dan mereka deal. Tinggal orang satu ini yang kayaknya lumayan sulit"

"Bener sih, yang ini agak sulit. Jadi gimana?" Guin membenarkan perkataan Galih soal sulitnya mengundang Airlangga.

"Sekarang buat aja dulu undangannya, sama komunikasi dengan asistennya jangan lupa. Pak Airlangga ini selektif dan perfeksionis banget. Oh iya, Gue serahin ini sama Lo ya Guin. Kerahin semua bakat negosiasi Lo buat ngerayu pak Airlangga"

Bukannya tersinggung karena disuruh merayu Guin malah merasa pipinya merona ketika Galih membahas pria itu.
Ah, baru semalam mereka bertemu. Galih menyadari wajah Guin agak pucat hari ini, namun karena dia bersikeras membantu acara mereka, Galih tidak akan menolak. Ia memajukan tubuh untuk meraih kepala Guin.

"Lo agak demam kayaknya Guin, pulang aja gih sana."
Tangan besar Galih bertengger di dahi Guin, membuat sang empunya bergerak tak nyaman. Ia menatap Galih, menyuruh lelaki itu membuang tangannya.

"Eh, enggak enak aja. Habis ini kita ada rapat kan, Sie Acara masih belum fix. Ini masalah konsep dan gue nggak mau ini berantakan"

Enak saja, biar bagaimanapun acara ini adalah proker besar dan Airlangga meskipun kecil kemungkinannya. Pria itu akan datang sebagai pemateri. Guin ingin acara ini sukses dan berkesan, dia tidak peduli harus mengorbankan waktu tidurnya untuk rapat dan menyiapkan acara.

"Lo bawa laptop?"

"Gue kan nggak punya laptop, lih"

"Yaudah, sekarang kita ke Sekber BEM dulu, Lo mending nyicil buat undangan dulu pakai laptop gue. Biar gue yang nyari tau kontaknya pak Airlangga."
Guin mengangguk, lalu berjalan bersama Galih.

The Minister is MineWhere stories live. Discover now