3. Airlangga Lynn Marshall

27.1K 1.6K 15
                                    

4 tahun yang lalu.

"Bagaimana?"

Lelaki berkulit putih itu menatap lawan bicaranya seolah olah besok matahari tidak akan terbit lagi. Penampilannya sudah tidak rapi, namun tidak melunturkan jejak ketampanan garis keras yang ia miliki. Kharisma yang luar biasa, fisiknya seperti magnet. Tidak ada yang bisa menolak pesonanya bahkan jika ia menggunakan baju kemarin.

"Sepertinya mulai besok kamu akan tersenyum sepanjang hari setelah aku mengatakan ini, Air". Lelaki itu, Ibrahim Rhodes tersenyum tipis sembari mengetuk ngetukkan benda kecil di tangannya.

Sebuah Flashdisk.

"Gadis itu masih hidup, aku sudah menemukan datanya. Dan coba tebak, setelah 3 tahun hilang tanpa jejak Sekarang gadis itu berada dimana?"

Airlangga mendengus sebagai balasan. Dia sedang tidak dalam mood untuk bermain main apalagi menebak hal yang membuat dia tidak bisa tidur lelap setiap malam.

"Oke, baiklah. Kurasa kamu sedang datang bulan. Aku tidak akan menggangumu hari ini"

BRAKKK
Airlangga memukul meja di hadapan Ibrahim.

Bukannya kaget Ibrahim justru tidak terkejut sama sekali atas perlakuan Airlangga, Ia paham sekali laki laki ini pasti terlalu bahagia karena baru saja mendengar gadis itu masih hidup, dan cara mengekspresikannya dengan seperti tadi. Anggap saja lelaki itu sangat bersemangat.

"Air, gadis itu sudah kelas 2 SMA, aku yakin jika kamu tidak segera kembali ke negara itu dia akan segera bertemu dengan cinta pertamanya. Dia.. hanya saja menurutku dia agak berbeda".

"Gadis itu tidak seperti yang kamu bayangkan Air, dia tidak seperti anak SMA pada umumnya. Kali ini kamu harus sedikit berpikir keras. Karena jika aku jadi temannya, sudah pasti aku jatuh cinta".

Airlangga memberikan tatapan membunuh kepada Ibrahim, seolah berkata ' Jangan dekati dia'. Lalu memandang ke arah lain.

"Aku akan memikirkan solusinya malam ini juga, bagaimana dengan greencard ku, Kamu sudah mengurusnya?"

Ibrahim mengeluarkan sebuah Greencard lalu ia sodorkan kepada Airlangga.

"Terimalah, Kartu emasmu."

Airlangga tersenyum singkat lalu menerima sebuah kartu juga flashdisk dari Ibrahim.

"Kali ini aku tidak ingin dibayar dengan uang lagi, rasanya menjengkelkan ketika melihat rekeningku terisi uang olehmu. Itu sangat melukai harga diriku."

Airlangga tertawa pelan.

"Hentikan tawa sialanmu Air, aku akan meminta bayaranku setelah kamu memberitahuku apa keputusanmu".

Airlangga masih tertawa hingga Ibrahim benar benar menghilang dari hadapannya.
Setelah tawanya reda, ia mulai memeriksa flashdisk pemberian putra kedua perdana menteri itu.

----
"Hi, Dad. You look awfull."

Benjamin Lynn Marshall terkekeh pelan mendengar suara anaknya hari ini, di luar sedang turun salju dan cuaca tidak bisa dikategorikan cerah. Namun putranya justru seperti sangat bahagia.

"Dad"

"Hii, Did something happen Dad?" Air menepuk pundak ayahnya pelan.

"Aku memenangkan kasus lagi hari ini, anak seorang perdana menteri".

Laluna Alamshah, datang dari dapur menuju ruang keluarga. Ia memegang sebuah nampan berisi Early grey tea juga cookies. Sore ini untuk pertama kalinya dalam bulan ini mereka bisa menikmati sore bersama. Ia duduk di samping suaminya sementara Airlangga berada disisi sebelah Benjamin.

"Air, berapa usiamu sekarang? "

"Kurasa 22, aku barusaja menyelesaikan masterku bulan lalu".

Benjamin menggeleng pelan, mendesah pasrah. Ia tahu ini akan terjadi, tetapi tidak menyangka akan secepat ini. Melepas putra tunggalnya untuk menjajaki dunia politik .

"Greencardmu?"

"Tenang saja Dad, aku sudah memilikinya hari ini. Jadi apa kau sudah memiliki keputusan aku akan ditempatkan di firma mu bagian apa?."

"Sayang sekali, hari ini aku memenangkan kasus putra Alexander Rhodes, dan bulan depan kamu harus siap bekerja dengan mereka. "

"Apa?"

"Mereka menginginkanmu menjadi bagian dari mereka"

"Bagaimana jika aku menolak?"

"Kita tentu tidak bisa menolak permintaan seorang perdana menteri Air. Setelah ini aku akan mengurusi berkasmu, kamu masih warga negara Austria".

-----
Keesokan harinya, Airlangga mengajak Ibra untuk bertemu. Ia merasa perlu mendiskusikan keputusannya dengan Ibra. Dan sedikit berharap Ibra bisa membantunya.

"Bagaimana, have you decided?" Ibra datang dengan seorang bodyguard, membuat Air sedikit mengangkat alis, menatap Ibra seolah bertanya 'Ada apa?'.

"Yah, kau tahu jika ayahku sangat overprotektif. Jadi begini hasilnya."

"Bukankah ayahku telah membuat kakakmu tidak jadi di penjara?"

"Kaisar, tidak akan pernah jera. Kita berdua tahu dia itu iblis. Kasus kemarin ia lolos karena yang menjadi pengacaranya adalah ayahmu. Besok dia akan berulah lagi, tetapi ayah telah memberi dia 3 bodyguard sekaligus"

Air menarik sudut bibirnya. Seorang pria dengan 3 bodyguard, orang orang akan mengira pria itu tidak punya kemampuan apa apa.

"Aku tidak mengerti jalan pikir kakakmu,"

"Dia hanya tidak ingin diseret ke parlemen. Dengan catatan hitam panjangnya, ia bisa bebas dari dunia politik."

"Jadi ayahmu menumbalkan aku."

"Apa?" Ibrahim menatap Air tak mengerti.

"Ayahmu membuat aku harus masuk ke dunianya, hei. Kenapa tidak kau saja. Kau kan putranya "

"Tunggu dulu, pertama aku tidak bisa, kedua aku tidak mau, ketiga... Perusahaan ayahku masih menjadi misi utamaku untuk mengembangkannya"

Mereka berdua terdiam sesaat, saling menyelami pikiran masing-masing.

"Kurasa tidak buruk air, dengan kekuasaan yang besar kamu akan lebih mudah mendapatkan dia kembali. Pikirkan jika kamu bisa menjadi menteri, bukankah kamu akan lebih mudah menarik perhatiannya?"

"Aku tidak memiliki waktu sepanjang itu, aku merasa harus segera bertemu dengannya. Now or i'll regret."

"Dengan dompet kosong seperti itu, apa yang akan kamu berikan padanya nanti? Kamu bukan siapa-siapa Air."

Airlangga berpikir keras, ia membenarkan kosakata Ibrahim yang agak nyelekit itu.

The Minister is MineWhere stories live. Discover now