51. A DAY WITH DADDY

2.8K 313 49
                                    

Acara World Economic Forum yang baru saja di gelar di Davos masih menjadi topik hangat di meja makan pagi ini. Ayahnya yang hadir di acara tersebut beberapa kali beradu argumen dengan perdana menteri Jerman. Menurutnya, tahun ini bukan lagi normalisasi tetapi sudah dalam tahap new era. Pemimpin dunia dihadapkan pada kenyataan bahwa kecerdasan buatan akan menjadi awal berubahnya semua mekanisme tradisional dalam penyelesaian praktis sebuah problem.

" Alex, please! Habiskan makananmu. Kalian bertiga bisa melanjutkan bergosip setelah sarapan ini" Ibunya memberi ultimatum. Guin ikut menyenggol lengan Airlangga agar suaminya diam.

"Makan!" Tekannya setengah berbisik.

"Alright, Alright"

Selesai dengan sarapan, Airlangga bersiap mengantar Guin ke kampus. Di akhir pekan, istrinya akan menjadi asisten praktikum untuk juniornya. Sebelum memasuki mobil, langkah mereka terhenti ketika suara Alexander jatuh.

"Darling, Daddy antar kamu ya" Alexander tanpa aba-aba masuk ke kursi kemudi. Airlangga menekan perasaannya yang enggan berjauhan dari sisi Guin. Padahal sudah 3 tahun mereka bersama-sama, rasanya justru semakin sesak jika Guin tidak berada dalam pandangannya.
Airlangga kemudian mendorong pelan pinggang istrinya untuk menghampiri ayahnya. Sekilas Airlangga ingin tertawa karena ternyata Alexander bahkan tidak mengganti style pantainya. Pria paruh baya itu hanya memakai celana pendek dan kemeja Hawaii andalannya.

"Mas, aku pamit dulu ya. " Guin mencium tangan airlangga lalu menghampiri ayahnya.

Pasalnya, tidak setiap hari ia bisa bertemu langsung dengan ayahnya. Jadi ketika Alexander mengunjunginya, ia akan menjadi sangat lengket dengan ayahnya.

"Kenapa berhenti? Dad? " Tanyanya ketika tiba-tiba mobil mereka berhenti di tengah jalan.

"Sepertinya Airlangga sengaja tidak mengisi bensin, anak itu, huh" Guin tertawa pelan melihat ayahnya bersungut-sungut.

"Biar aku dorong, okay" Tawarnya.

Setelah 15 menit menyusuri jalan, mereka berdua menyerah. Energi hasil sarapan sudah lenyap tak bersisa.

"Mau telpon orang rumah? "

"Tidak, daddy ingin menjadi orang biasa saja" Lagi-lagi Guin tertawa. Ayahnya konyol sekali. Guin memberikan sebotol air meneral sembari memijat lengan ayahnya yang terlihat lelah. Maklum, semalam Alexander baru tiba dari perjalanan bisnisnya.

Disebelah sisi jalan tampak Agni dan teman-temannya sedang memperhatikan Guin. Mereka sudah mengikuti Guin dari perempatan sebelumnya. Seringai licik terbit di wajah Agni.

"Apa gue bilang, Guin itu cewek nggak bener. Kalian lihat sendiri kan?" Katanya memprovokasi." Lengket banget sama om-om, ihhh"

"Ganteng juga om nya, Bule banget lagi."

"Wajahnya familiar banget, gue sepertinya pernah lihat figur beliau"

"Serius lo? "

"Halah, paling di lewat di beranda lalu hilang karena nggak seterkenal itu. Dilihat dari penampilannya, keliatan ga sebanding sama Gabriel dan Galih. Lihat deh, itu om-om mau ke pantai atau ke kampus sih" Agni menambahkan.

"Dad, daddy istirahat dulu ya, aku lihat di depan sana ada penjual bensin eceran" Alexander mengangguk, ia mengipasi wajahnya yang kepanasan.

Guin agak berlari menuju penjual bensin terdekat agar mereka cepat keluar dari situasi ini. Kasihan Daddynya jika harus berpanas-panasan di pinggir jalan seperti itu.

"Biar daddy yang mengisikan ke tangkinya." Alexander mengambil alih botol di tangan Guin. Ia memasukkan bahan bakar sambil berpose kelelahan parah, tangannya mengusap peluh, wajahnya ditekuk, persis seperti orang teraniaya.

The Minister is MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang