12. SEMINAR

12.9K 966 14
                                    

Gedung Aula kampus hari itu mendadak ramai, banyak mahasiswa dan mahasiswi dari berbagai jurusan datang untuk menyaksikan seminar disana. Guin dan beberapa panitia lainnya cukup puas melihat acara berjalan dengan lancar. Tidak rugi mereka bekerja sampai larut malam untuk persiapan acara ini.

Di depan panggung sana beberapa pemateri serta rektor duduk berdampingan untuk memberikan materi. Guin memperhatikan Airlangga yang terlihat santai menanggapi pertanyaan pertanyaan dari mahasiswa yang hadir. Pertanyaan tersebut kebanyakan terkait eksistensi Airlangga, juga beberapa penghargaan bergengsi yang sempat diraihnya.

"Pertanyaan terakhir dari kami pak Airlangga, apakah berita itu benar bahwa anda sudah memiliki kekasih?" Tanya sang moderator dengan nada ingin tahu, banyak wanita menahan nafas menunggu Airlangga menjawab pertanyaan.

Airlangga tersenyum skeptis, lalu melebarkan bibirnya santai sambil menunjukkan cincin di jarinya. Beberapa pemateri juga cukup terkejut dengan respon pria itu, mengingat Airlangga tidak pernah terlihat berkencan sebelumnya.

"Saya sudah taken" katanya menyombongkan diri. Airlangga mengedarkan pandangannya, lalu mengunci pandangan kepada Guin beberapa saat. Lantas tersenyum lebar ke arah penonton.

Guin merasa terharu di tempat, diam-diam memegang cincin pertunangan mereka 6 tahun yang lalu. Cincin itu terkait rapi di kalungnya. Guin tersenyum sambil menatap Airlangga di atas panggung.  Sementara para mahasiswi lain langsung berubah air mukanya. Mereka terlihat kecewa. Satu lagi calon suami paling potensial sudah memiliki tambatan hati.

"Fix, tiba tiba ada yang patah tapi bukan tulang" ucap salah seorang panitia di dekat Guin, sedang yang lainnya hanya menanggapi dengan senyum kecut. Guin buru buru menormalkan air mukanya.

-------
Setelah acara selesai, semua panitia berkumpul untuk membersihkan properti  serta sampah yang menggenang di lantai gedung.  Jangan dikira ikut organisasi hanya seputar persiapan acara, berlangsungnya acara, lalu selesai.  Tidak, mereka juga harus bekerja extra setelah acara selesai.

Setelah selesai dengan bersih-bersih, mereka berkumpul sebentar di belakang gedung. Hari ini mereka mendapatkan dispensasi jadi tidak masalah jika seharian mereka absen kelas. Para panitia duduk khidmat untuk beberapa saat ketika Galih akhirnya mengumumkan bahwa panitia dibubarkan karena acara telah selesai.

"Fyuh, akhirnya kelar juga acara ini. Bener bener sesuai ekspektasi gue sebelumnya. Apalagi pak Airlangga, keren abis" seloroh Galih.
Rani yang duduk disamping Guin magut magut membenarkan.

"Iya loh, duh sayang banget si bapak udah sold out" komentar Melly.

Galih menatap Guin, sedikit ragu namun tetap bertanya.

"Guin,lo  kok  tadi biasa aja ketemu pak Abimana?"

Rani yang sedari tadi fokus dengan smartphonenya langsung memberi atensi penuh kepada Guin.

"Waittt, ada apa emangnya lih, kok gue nggak tahu?" Rani menuntut jawaban lebih kepada Guin namun gadis itu terlihat gugup, alih alih menjawab Guin hanya diam.

"Bukan pak Abimana, cuma saudaranya pak Abimana, kayaknya sih adiknya beliau, atau sepupunya kali" Galih memberitahu.

"What!!!" Teriakan Melly membuat beberapa orang disekitar mereka menoleh kearahnya. Sesegera mungkin ia menormalkan gesture tubuhnya. Dibenaknya sekarang, Melly merasa Guin sudah tidak waras. Ia menatap sahabatnya itu lewat sorot mata lemah, dan dibalas sama lemahnya oleh Guin.
-----------

Melly masih mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Guin. Ia tak menampik bahwa akhir akhir ini sahabatnya itu terlihat lebih manusiawi. Mulai dari penampilannya yang sekarang tidak nampak terlalu pucat lagi, juga rona merah yang sering muncul menandakan adanya kebahagiaan disana. Tetapi sebagai sahabat yang tahu kondisi gadis itu dari Maba, Melly tidak bisa melihat Guin akhirnya menjadi simpanan. Membayangkannya membuat Melly sedih. Guin adalah gadis yang baik, cantik dan cerdas sayang nasibnya tak secerdas otaknya.

"Guin, apa yang dibilang Galih soal adiknya pak Abimana itu bener? Guu..gue sih sebenarnya nggak papa kalo beliau baik, cuman kok..eumm nggak deh kayaknya"

Guin dan Melly memutuskan mampir ke Cafe yang jaraknya agak jauh dari kampus, mereka akhirnya duduk berhadapan ditemani segelas cappucino dan lemonade, hari sudah agak gelap namun mereka belum ingin beranjak.

" Mel, Lo percayakan kalo gue bisa jaga diri? Lo nggak perlu khawatir"

Tercipta keheningan beberapa saat hingga Guin mengutarakan sesuatu.

"Dia cinta pertama aku Mel, terlepas jarak usia kami yang menurut Lo nggak wajar. Aku nggak mungkin menolak dia. Apalagi keadaanku sekarang sedang nggak memungkinkan". Guin menanggalkan sikap informalnya, sekedar menunjukkan bahwa ia serius.

Guin mengingat pertama kali dia bertemu Airlangga. Perbedaan postur tubuh mereka saat itu sangat mencolok.
Guin kurus kerempeng ketika SMP, sedangkan Airlangga yang baru masuk universitas tampak sangat gagah. Saat tangan besar Airlangga memasangkan cincin, itu bukan seperti pertukaran cincin sepasang kekasih, tetapi seperti paman dan keponakannya.

Melly mendesah pasrah, Guin memang keras kepala tetapi sikap irrasionalnya kadang menakutkan. Apa boleh buat. Guin memang begitu.

" Kenapa baru sekarang dia menghampiri Lo Guin? Kemana dia Saat dulu Lo kehilangan mama papa serta kakak Lo, gue nggak pernah melihat dia ada disekitar Lo bahkan saat Lo terpuruk" Melly mengucapkan kalimat itu dengan wajah berapi-api, nadanya sarat akan kekecewaan.

Guin terdiam di tempatnya, mendadak hatinya seperti diolesi racun, sesak dan menyakitkan. Peristiwa kecelakaan 5 tahun lalu memiliki arti tersendiri bagi Guin. 3 orang berharga dalam hidupnya meninggal ditempat. Guin yang masih belia hanya mampu terisak dipundak Omanya, saat itu Guin memang sangat mengharapkan kehadiran Airlangga. Namun pria itu tidak pernah muncul.
Hingga di bulan kedua setelah kematian keluarga Guin. Airlangga datang di suatu malam.

"Nduk, kang mas mu datang" suara Oma malam itu masih sangat Guin ingat. Kakeknya adalah orang Jogja, namun setelah menikah dengan Omanya yang orang Surabaya, mereka kemudian menetap di Surabaya. Beliau sudah paham dengan pertunangan Guin juga Airlangga, jadi setiap Airlangga datang, Oma akan memanggilnya dengan sebutan " kang mas".

"Maaf, Oma Dalem masih belum bisa menemui Mas Airlangga". Begitu kalimat tersebut terucap, Omanya akan dengan sabar mengelus punggung Guin, menyalurkan kekuatan agar tetap bertahan.

"Guin??"

"GUINNN".

"Eh, iya Mel sorry. " Guin mengerjab, lalu menyadari lamunannya tadi tidak berguna.
Jauh di lubuk hatinya memang masih merasa kecewa, namun realitanya sekarang dia butuh Airlangga.

Gadis itu  menyesap cappucinonya yang sudah tidak dingin. Lalu mengumpulkan atensi sepenuhnya kepada Melly.

Guin menghembuskan nafas.

"Gue inget keluarga gue" setetes cairan bening merembes, perlahan-lahan pelupuk mata guin sudah banjir. Ia menelungkupkan wajahnya di meja, terisak perlahan.

Melly yang berada didepannya panik,ia merasa bersalah, tangannya menepuk-nepuk pundak Guin memberikan semangat.

"Guin, maafin gue ya, gue yang bikin Lo inget lagi, harusnya gue nggak meragukan Lo, maafin gue Guin. Lo nggak sendirian Guin, gue sama Rani bakal terus nemenin Lo, dukung Lo. " Melly prihatin melihat pundak kecil Guin yang bergetar. Berapa banyak kekecewaan dan kesedihan yang pernah ditanggung oleh sahabatnya ini, berapa kali Guin bahagia, apa itu seimbang
?.
Terbesit sebuah pepatah dalam benaknya.
'Seseorang yang tetap berdiri setelah dihantam badai, ia takkan terpengaruh ketika diterpa gerimis'

----------------
Selamat membaca ya, terimakasih sudah mampir.  Semoga suka. 😊

The Minister is MineWhere stories live. Discover now