2

124K 6.5K 88
                                    

Hari Senin terasa berat, lebih berat dari sebelum-sebelumnya. Ginela terus duduk di ruangannya sampai matahari terbenam. Makan siang pun dia nitip pada Zio. Dia takut jika keluar ruangan akan bertemu bosnya tanpa sengaja. Dia bahkan belum menulis surat pengunduran diri. Masih ragu karena dia belum memiliki pekerjaan cadangan. Jika dia keluar bagaimana caranya bertahan hidup di kota metropolitan yang serba mencekik leher harganya?

"Lo nggak pulang?" Zio mengetuk meja Ginela.

"Udah jam 7?" Ginela kaget sendiri melihat jam di pergelangan tangannya.

"Lo kenapa, sih?" Zio menarik kursinya mendekati meja Ginela kembali duduk.

"Bingung." Yah, hanya kata itu yang bisa merangkum perasaannya saat ini.

"Bingung kenapa? Ada yang gangguin lo?" Berteman cukup lama selama 7 tahun bekerja di Galaksi sebuah perusahaan industri, Zio peduli pada Ginela yang memang terkadang sulit ditebak kelakuannya.

Ginela menelan salivanya ingin memulai cerita tapi justru helaan napas yang lolos dari bibirnya.

"Kita pulang aja, yuk!"

"Nggak jadi cerita?"

"Besok aja gue belum siap. Tapi gue nggak digangguin siapa-siapa kok. Gue cuma digangguin pikiran gue sendiri."

"Ok, deh. Kalau ada masalah sama cowok bilang sama gue."

"Thanks, ya. Lo emang yang terbaik!" Ginela menepuk bahu Zio. Zio adalah teman pria terbaiknya karena itu dia tidak pernah melebihi batasan apalagi menjadikan Zio teman ONS-nya.

"Makanya berhenti main-main! Ayo, pulang."

"Siap, bos! Sekarang beneran gue insaf." Ginela meraih tasnya dan beranjak pulang.

"Anggap aja gue percaya."

"Lo bisa cek malam Minggu besok gue di mana."

Takdir sepertinya sedang tidak bersahabat dengan Ginela. Saat menunggu lift terbuka Alaric mendekat dan berdiri di depan lift khusus di sebelahnya. Refleks Ginela membuang mukan bukannya menyapa bosnya itu. Dia bahkan menutupi wajahnya dengan rambut panjangnya.

"Malam, Pak," sapa Zio.

"Ya. Mau gabung?" tawar Alaric saat pintu liftnya terbuka.

"Saya, Pak?" Zio bertanya karena hanya ada dia dan Ginela.

"Nggak ada yang lain 'kan?"

"Makasih, Pak." Zio langsung menarik Ginela untuk ikut masuk meski wanita itu bersikeras tidak mau.

Di dalam lift hanya ada keheningan dan suara detak jantung masing-masing. Ginela terus menunduk tidak berani memperlihatkan wajah. Dia ketakutan di dalam lift.

"Kalian lembur?"

Suara Alaric yang tiba-tiba membuat jantung Ginela seakan lepas dari tempatnya karena kaget. Bagaimana bisa dia melupakan suara berat dan seksi itu? Pikir Ginela.

"Nggak, Pak," jawab Zio lalu mencolek Ginela agar menambah jawaban tapi Ginela sibuk merutuki kebodohannya yang melupakan semuanya. Jika ada yang diingat pun hanya kejadian yang membuatnya panas dingin. Dia masih belum mengingat bagaimana bisa dia berakhir di hotel dengan bosnya.

"Kamu dari divisi apa?"

"Dari pemasaran, Pak," jawab Zio.

Suasana kembali hening. Ginela berdiri di belakang Zio. Berusaha bersembunyi di balik bahu lebar teman sekantornya itu. Saat keluar lift Alaric berbalik dan melihat wajah Ginela yang kaget melihatnya.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

Mata Ginela mengerjap kaget.

"Tentu saja, Pak. Saya dan Gin sudah lama kerja di sini." Zio membantu menjawab, dia curiga dengan kelakuan Ginela sejak tadi.

Alaric hanya tersenyum lalu berbalik dan menjauh pergi. Sementara Ginela hampir terjatuh karena kakinya yang melemas seolah tidak bertulang.

"Ngaku nggak lo?" Tembak Zio dapada Ginela setelah bosnya tidak terlihat lagi.

"Dosa apa gue di kehidupan sebelumnya? Kenapa gue sesial ini?" Ginela merengek dan mengacak-acak rambutnya yang memang sudah berantakan.

"Gila lo. Lo waras 'kan?"

"Ini semua gara-gara Nara. Serius gue nggak inget apa-apa. Gue juga nggak tahu kenapa bisa gue sama..." Ginela tidak mampu meneruskan ucapannya. Dia udah frustasi dan makin frustasi karena kejadian barusan.

"Kalau sampai bos nyadar itu gue gimana? Habis gue."

Zio tidak bisa menahan tawanya lagi. Pantas saja Ginela seharian seperti mayat hidup.

"Kenapa lo malah ketawa sih?"

"Kenapa temen gue bego banget, ya?" Zio mengusap kepala Ginela.

"Sialan lo. Bukannya bantu nyari solusi malah ngatain gue bego."

"Lo itu bukan bocah lagi. Tapi bukannya jaga diri malah makin nggak jelas. Sekarang lo tidur sama bos lo. Kalau nggak bego ya gila."

"Yang penting bos kita bukan suami orang," ucap Ginela berusaha membenarkan diri.

"Saran gue, lo biasa aja nggak usah bertingkah aneh kayak tadi. Bukannya terhindar malah lo mengundang orang buat lihatin lo."

"Gitu, ya? Ok, deh. Beneran deh gue insaf. Gue juga nggak paham sama diri gue sendiri. Gue cuma patah hati terus pengen seneng-seneng. Tapi malah berakhir gini."

"Lo patah hati? Kaya punya pacar aja. Banyakan alesan lo."

"Gue patah hati bukan karena cowok. Itu mustahil. Gue itu patah hati karena nggak menang undian padahal gue udah berharap banget dan gue yakin bakal menang."

"Lo emang nggak pernah waras." Zio menoyor kepala Ginela.

***

Alaric duduk termenung di meja kerjanya. Dia masih berusaha mengingat wajah wanita yang bersamanya semalam. Bagaimana bisa dia ditinggalkan begitu saja? Itu melukai harga dirinya. Keperjakaannya serasa tidak berharga.

Semua ini karena Leo. Mengingat nama itu, Alaric ingin melempar sahabatnya itu ke kelautan.

Bangun dengan keadaan telanjang sendirian. Itu adalah mimpi buruk. Kenangan terburuk setelah malam yang panas. Seharusnya dia tidak menyetujui permainan Leo.

Alaric memandangi kalung dengan liontin berbentuk bintang. Hanya itu petunjuk yang dia miliki sebagai jejak wanitanya kemarin malam. Bagaimanapun dia ingin mengetahui siapa wanita itu. Bertanya pada Leo yang dia dapat hanya gelengan dan mulut yang membungkam.

"Gue nggak tahu. Yang gue inget dia partner malem gue."

"Siapa partner lo?"

"Itu privasi."

"Lo masih berani bilang privasi?"

"Gue jamin cewek itu nggak punya penyakit kelamin. Dia bersih."

"Maksud lo?"

"Ya pokoknya lo aman."

Satu tinjuan mendarat di pipi Leo. Alaric lepas kendali karena ucapan Leo. Aman? Dia saja tidak memakai pengaman, apanya yang aman?

Alaric tidak bisa berkata apa-apa. Selain kehilangan harga diri, dia juga ketakutan jika akhirnya akan ada wanita yang datang meminta pertanggungjawaban. Seharusnya Leo memberinya pengaman sebelum menjerumuskannya ke kandang singa betina.

"Lo denger baik-baik. Gue nggak pakai pengaman malam itu. Paham lo?"

Leo membelalak, tenggorokannya tercekat. Haruskah dia bertanya pada Nara?

One Night StandWhere stories live. Discover now