9

70.8K 4.4K 46
                                    

Ginela akhirnya bisa merebahkan badannya di atas kasur. Mengingat-ingat semua yang telah terjadi padanya. Memang dia tidak berharap keluarga Alaric menerimanya dengan senyuman dan pelukan hangat. Diterima tanpa dicaci maki dan dihina saja sudah sangat bersyukur. Apalagi melihat latar belakang Alaric.

Bagaimana bisa dia tidak mengetahui hal itu? Sepertinya dia memang tidak terlalu peduli dengan sekitar yang bukan urusannya. Dia bahkan sangat jarang berhubungan dengan Alaric di kantor.

Satu pesan masuk ke ponselnya.

Pak Alaric Wenner

Besok malam mulailah tinggal di tempatku.

Ginela mengabaikan pesan itu. Bergulimg memeluk bantal. Ada rasa takut menjalar perlahan. Apa dia akan mengalami hal yang sama dengan ibunya? Baru saja dimulai, Alaric sudah suka memerintahnya dan dia tidak bisa menolak. Apakah ini yang dirasakan ibunya dulu? Bertahan dengan lelaki bajingan meski pria itu berselingkuh dan sering menyiksa fisik dan batin.

Ginela masih bergelut dengan diri sendiri. Masih mempertanyakan kenapa dia sampai mengiyakan dan tidak bisa menolak? Bukankah sebenarnya banyak kesempatan untuk menolak?

Wanita kepala tiga itu mengelus perutnya. Mungkin ini alasan paling bisa dimengerti. Dia takut jika benar-benar hamil dan anaknya bernasib buruk dengan tidak memiliki keluarga. Padahal dia yang salah bukan anaknya. Dia yang lalai dan hidup serampangan.

Ponselnya kembali berbunyi. Kini panggilan telepon masuk, bukan lagi sekadar chat.

"Halo," sapa Ginela pelan.

"Sudah tidur?"

"Belum."

"Maaf jika penyambutan keluarga saya kurang berkenan."

"Nggak, Pak. Itu sudah jauh dari kata baik. Menimbang siapa saya."

"Berhentilah merendahkanmu. Saya saja menghargaimu, jadi hargai dirimu sendiri."

"Iya, Pak."

"Besok malam mulailah tinggal di tempat saya. Kamu siapkan yang memang kamu butuhkan saja. Soal pakaian saya sudah mengurusnya. Kamu tidak perlu terburu-buru mengemas semua barangmu."

"Iya, Pak." Jawaban apalagi yang perlu Ginela ucapkan selain kata iya.

"Ya sudah istirahatlah. Besok pagi saya jemput."

"Iya, Pak."

"Selamat malam."

"Malam."

Ginela mengembuskan napas lega setelah layar ponselnya menghitam. Dia merentangkan tangan menatap langit-langit.

"Mari tidur dan berharap ini semua hanya mimpi," gumam Ginela.

***

Ternyata semua nyata. Tidak ada mimpi karena setelah bangun pagi dan menikmati secangkir teh, ada kiriman sarapan sehat yang mendarat di apartemennya.

Ginela yakin setelah ini akan ada ketukan pintu. Siapa lagi kalau bukan Alaric. Meski aneh tapi kini terasa nyata. Bosnya menjemput? Hal mustahil yang jadi kenyataan.

Bibir Ginela melengkung ke atas saat mendengar ketukan pintu. Dia meletakkan cangkir tehnya, meraih tas dan kopernya.

"Ayo berangkat," ucap Ginela tanpa mempersilakan Alaric masuk.

One Night StandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang