31

30.8K 2.4K 35
                                    

Beberapa hari berlalu tanpa drama. Tapi Ginela justru merasa khawatir. Sejak foto-foto kebersamaannya bersama Rolan dulu berada di mejanya, tidak ada lagi kejadian yang berhubungan dengan itu. Rolan pun tidak pernah memaksanya lagi untuk berbicara. Hanya memberikan senyuman lebar saat tidak sengaja berpapasan.

Meski menaruh curiga Ginela tidak menemui Rolan untuk membuat perhitungan karena baginya hal itu hanya akan membuat masalah yang sebenarnya bisa dihindari.

Seperti saat ini, hal yang tidak bisa dihindari. Ginela tetap harus berhubungan dengan Rolan dalam hal pekerjaan meski sudah ada Zio. Mereka menuju kebun kedelai bersama rombongan. Mengambil foto-foto guna produk baru mereka. Butuh perjalanan panjang dan semakin terasa panjang bagi Ginela yang risih dengan keberadaan Rolan di dekatnya.

"Mau minum?" Rolan menawarkan air mineral dingin pada Ginela.

"Makasih." Ginela tentu saja menerimanya apalagi siang ini sangat terik.

"Pemandangannya bagus ya?"

"Ya," jawab Ginela asal. Dalam hati dia menggerutu. Apanya yang bagus? Hanya ada terik matahari yang sangat menyengat dan membuatnya jadi sulit berpikir. Sejauh mata memandang rasanya menyilaukan.

"Kamu sudah lapar?"

"Ya," jawab Ginela lagi singkat. Ingin bilang tidak tapi perutnya berbunyi.

"Aku punya coklat." Rolan mengulurkan Beng Ben kecil dari saku celana.

"Makasih." Lagi-lagi Ginela menerima pemberian Rolan. Dia masih realistis meski sebenarnya dia tidak suka berinteraksi dengan Rolan tapi dia memang lapar. Sejak tadi berada di kebun kedelai sangat menguras tenaga. Dia tidak mau pingsan konyol di sini.

"Pakai topiku."

Rolan memakaikan topinya pada Ginela tapi wanita itu refleks menghadang. Untuk yang satu ini dia tidak terlalu butuh. Dia masih bisa bertahan dan berteman dengan matahari.

"Nggak perlu," ucap Ginela lalu beranjak pergi.

"Aku tahu kamu nggak akan mungkin kembali. Tapi berharap bukan sebuah dosa bukan?"

Ginela menoleh ke belakang. "Mengharap pada hal yang mustahil hanya akan membuatmu terluka."

Sejak perbincangan itu Ginela tidak lagi melihat Rolan. Saat makan siang pun Rolan tidak nampak batang hidungnya. Orang-orang sudah mulai khawatir dan mencari. Dihubungi pun tidak bisa sementara matahari mulai turun.

Ginela yang awalnya tidak peduli pun akhirnya ikut membantu mencari. Mereka menyebar mencari keberadaan Rolan yang tidak juga ditemukan. Entah hilang atau memang pergi tanpa pesan. Tapi kemungkinan kedua itu sangat tidak mungkin karena mereka sedang bekerja. Tidak mungkin Rolan setidak profesinal itu, pikir Ginela yang tahu seperti apa Rolan.

"Kak Gin, itu Pak Rolan. Itu!" seru Dini menunjuk pada Rolan yang terperosok di selokan tidak jauh dari perkebunan.

Ginela refleks mendekati Rolan yang tersungkur di selokan. Tidak terlihat ada luka-luka tapi Rolan tetap bergeming.

"Rolan! Rolan!" seru Ginela memegang pipi Rolan tapi pria itu hanya membuka mata sekejap lalu menutup lagi.

Ginela dan Dini pun panik berteriak meminta pertolongan. Beberapa petani pun datang menolong bersama Zio. Mereka segera membawa Rolan ke rumah sakit terdekat.

Ginela menunggu di depan IGD bersama Dini, Zio, dan Azra -anggota tim Rolan. Menunggu hasil pemeriksaan. Bagaimanapun Ginela tetap merasa takut terjadi hal buruk pada Rolan. Dia duduk dengan menggoyang-goyangkan kaki, panik.

"Kerabat Rolan Asegaf," panggil salah satu perawat.

"Bagaimana keadaanya, Dok?" tanya Azra.

"Pasien sudah sadar."

One Night StandWhere stories live. Discover now