44

26K 2.3K 77
                                    

Ginela kembali bergelung di atas kasur sepanjang hari. Dia mengurung diri di kamar dengan mata sembab, lelah terus menangis. Tangis bahagia bersamaan dengan tangis kesedihan. Sulit dijabarkan.

Semua belum pasti, dokter memintanya melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Tapi dia merasa yakin setelah dokter menanyakan waktu terakhir datang bulan. Dia sudah telat nyaris sebulan tapi dia tidak terlalu memperhatikan karena pikirannya sibuk oleh peristiwa yang tiba-tiba menimpa Alaric.

Ginela bangun dari posisinya. Berjalan menuju jendela, menatap kosong pemandangan di luar jendela. Tiba-tiba semua terasa sepi dan kosong. Bisakah dia melewati sendirian masalah kali ini tanpa menghindar?

Ketukan pintu membuat Ginela menoleh. Alaric sudah berkali kali mengetuk pintunya sejak siang untuk mengajaknya makan siang. Tapi Ginela ingin sendiri.

Sementara di luar kamar Alaric mondar-mandir kebingungan. Ingin mengabaikan tentu saja tidak bisa. Bagaimanapun Ginela tengah berada di apartemennya berarti tanggung jawabnya. Apalagi status Ginela adalah istrinya meski dia lupa.

"Ginela. Apa kamu baik-baik saja? Jawab aku! Jangan membuatku cemas."

Tidak ada jawaban Alaric kembali mengetuk. "Kamu sudah melewatkan makan siang. Bukankah kamu nggak pernah melewatkan waktu makan? Kamu ingin makan apa?"

Tiba-tiba pintu terbuka. Alaric mengerutkan keningnya saat ditatap Ginela tanpa jeda.

"Apa kamu sudah ingat?"

"Ingat apa?" Terlihat jelas raut wajah Alaric yang kebingungan.

"Tadi kamu bilang aku nggak pernah melewatkan makan. Apa kamu sudah ingat aku?"

Alaric mengusap tengkuknya. "Entahlah. Kata-kata itu keluar begitu saja."

Wajah semangat Ginela berubah lesu.

"Sebenarnya kamu sakit apa?" tanya Alaric yang penasaran karena dokter Budi tidak mengatakan apa-apa padanya. Hanya memintanya untuk lebih perhatian pada Ginela.

"Sakit pikiran," jawab Ginela sekenanya lalu pergi ke meja makan.

"Memang apa yang kamu pikirkan?"

Seketika Ginela menoleh dan memasang wajah marah. Emosinya naik ke ubun-ubun begitu saja.

"Bayangkan kalau orang yang kamu cintai melupakanmu, pekerjaanmu menumpuk, dan ditambah kamu hamil. Apa kamu bisa membayangkan jadi aku? Tentu saja kepalaku sakit memikirkannya," seru Ginela menggebu-gebu sampai napasnya tersengal sementara Alaric melongo diam. Emosinya memuncak, lelah. Ditambah menerima kenyataan hamil tapi serasa tanpa suami. Bagaimana dia bisa mengelola emosinya jika begini?

"Sudahlah, kamu pasti nggak akan paham. Jadi berhenti bertanya, aku pusing."

Rasanya lega sudah mengeluarkan semua unek-uneknya, dia duduk menyesap teh panasnya. Beban kepalanya sedikit berkurang tidak jadi meledak. Ginela melirik Alaric yang masih berdiri menatapnya.

"Ada apa?" tanya Ginela bingung dengan suaminya yang masih diam di tempat.

Alaric mendekat, menarik kursi, duduk menghadap Ginela. Menatap wanita itu cukup lama, mencoba mengingat.

"Kenapa lagi?" Kening Ginela berkerut ditatap begitu intens.

"Jadi kamu hamil?"

Ginela hanya mengangguk singkat, tidak banyak bicara. Lagipula suaminya ini tengah lupa ingatan. Tidak bisa jadi sandaran. Percuma juga bicara banyak, hanya membuat moodnya buruk saja.

"Anakku, 'kan?"

Emosi Ginela yang sudah sedikit mereda kembali naik. "Bukan! Anak suamiku."

"Tapi aku suamimu."

One Night StandWhere stories live. Discover now