28

34.4K 2.6K 41
                                    

Suasana kantor seperti biasanya meski kesibukan sudah menurun. Semua mata menatap layar komputer. Ginela melirik ke sekeliling sembari meregangkan tubuhnya yang kaku sejak pagi sampai siang berada pada posisi yang sama.

Ginela bangkit dari kursinya dan berjalan menuju pantry, membuat coffee latte dengan mesin kopi. Terlalu banyak duduk juga melelahkan, bukan hanya untuk tubuh tapi juga matanya. Dia melemaskan otot lehernya sembari menunggu kopinya jadi.

Ginela kaget saat melihat Roland ada di sampingnya entah sejak kapan. Pria itu juga hanya diam memegang gelas.

"Mau pakai?" tanya Ginela, mencoba biasa saja.

"Ya. Kamu masih suka kopi itu?" Rolan menunjuk kapsul kopi yang baru Ginela keluarkan dari mesin kopi.

Ginela mengangguk.

"Aku masih ingat waktu pertama kali kamu cerita minum kopi itu. Kamu tampak sangat bahagia. Aku suka ekspresi itu."

"Hm," balas Ginela yang malas mengenang masa lalu.

"Sepertinya sekarang kamu juga bahagia. Aku senang melihatnya."

"Silakan, Pak." Ginela mengambil cangkirnya dan membuang sisa kapsul kopi itu ke tempat sampah.

"Gin. Aku akan tetap nunggu. Kamu tahu 'kan gimana kegigihanku?"

Ginela memutar bola matanya lalu menoleh pada Rolan. Pria itu sering membuatnya memutar bola matanya karena kesal.

"Bagaimana lagi gue harus ngasih tahu lo? Gue udah punya pasangan."

"Iya aku tahu. Tapi aku juga nggak bisa merubah perasaanku begitu saja setelah sekian lama aku berusaha menjadi diriku sekarang. Semua buat kamu."

"Gin, aku ninggalin kamu karena aku nggak mau keluargaku ngusik kamu. Aku punya alasan. Kalau aku kasih tahu kamu pasti kamu nggak akan ngelepasin aku, aku sangat memahamimu, dan kamu akan menderita karena keluargaku yang terus nekan kamu. Aku juga hancur waktu itu harus berpisah sama kamu. Tapi aku selalu menekankan sama diri aku sendiri bahwa semua ini demi kamu. Sekarang aku udah punya power buat merjuangin kamu, nggak bisakah kamu kasih kesempatan?"

Rolan tidak tahu harus bagaimana lagi menjelaskan pada Ginela semua alasan meninggalkan perempuan itu. Ginela yang dulu sangat menempel padanya tidak akan mungkin mau meninggalkannya. Ginela pasti akan berusaha untuk tetap bersamanya meski keluarganya akan menyusahkan perempuan itu. Rolan tidak akan tega melihat orang yang disayanginya diperlakukan buruk keluarganya. Dia juga hancur saat itu.

Ginela memejamkan matanya sejenak untuk meredam amarahnya yang bisa kapan saja meledak. Kenyataan ini tidak mengubah apapun hanya menambah luka di hatinya. Dia sudah memiliki suami. Apapun alasan Rolan tidak akan bisa mengubah status itu. Tidak bisakah jangan menambah beban di hatinya setelah sekian lama menghilang? Mungkin ini yang disebut tidak jodoh. Ginela menekankan hal itu di hatinya.

"Gue udah punya pasangan. Lo paham nggak, sih? Kalau lo nggak mau menerima kenyataan itu, ya udah terserah lo. Pusing gue!" Ginela memijit pelipisnya dan meninggalkan Rolan begitu saja.

Niat hati ingin merelaksasikan tubuh, tapi akhirnya berujung otot lehernya makin menegang karena menahan emosi.

Ginela menghela napas berat. Dia ingat betapa kejamnya orangtua Rolan. Bak sinetron datang menemuinya dan memberinya uang untuk meninggalkan Rolan. Waktu itu dia baru saja kehilangan kontak dengan Rolan, perasaannya yang tengah hancur bertambah hancur karena tawaran uang itu.

Ginela miris mengingatnya. Benar kata Rolan, dia yang dulu tidak akan dengan mudah mau melepaskan. Uang pun dia tolak dan menerima setiap ucapan yang menyakiti hatinya begitu saja demi tetap bersama Rolan.

One Night StandWhere stories live. Discover now