29

30.3K 2.5K 68
                                    

Bisakah hari ini disebut hari sial untuk Ginela? Setelah mendengar Rolan bicara panjang kali lebar sekarang Ginela dipertemukan tanpa sengaja dengan mamanya Rolan di restoran. Wanita yang pernah memberinya uang seperti di drama TV.

"Saras!" panggil Nila.

"Hei, ketemu di sini."

Saras dan Nila yang merupakan teman saat kuliah melakukan cipika cipiki.

"Kamu bersama siapa?" Nila melirik Ginela.

Ginela bisa melihat tatapan kaget Bu Nila yang melihatnya bersama Bu Saras dan Alaric. Tapi dia mengabaikan tatapan itu.

"Oh, ini menantu aku, istri Aric."

"Menantu? Kapan nikah? Kok aku nggak diundang? Sedih, nih," ucap Nila yang terlihat sekali dibuat-buay.

"Maaf, bukannya nggak ngundang tapi memang belum dirayakan."

"Oh... gitu."

Ginela sangat paham dengan tatapan Nila padanya yang tidak pernah suka. Tapi dia tidak peduli.

"Mau makan juga? Mau gabung?" tawar Saras.

"Boleh, boleh. Lama kita nggak ketemu."

Selera makan Ginela hilang sudah. Dia yakin wanita paruh baya itu akan menyudutkan dan merendahkannya. Bukan dia berpikiran buruk pada orang lain tapi dia paham sekali dengan tipe wanita kaya yang sombong seperti Bu Nila.

"Sudah nikah berapa lama?" Nila memulai percakapan setelah mereka duduk semeja.

"Baru saja," jawab Ginela karena dengan jelas Nila bertanya padanya.

"Sudah isi?"

"Belum," jawab Ginela singkat-singkat karena malas basa-basi.

"Oh, aku pikir sudah isi duluan."

"Belum. Doakan saja, Tante. Inginnya cepat tapi kalau belum dikasih ya nggak pa-pa biar pacarannya makin lama." Kali ini Alaric ikut bicara.

Ginela memaksakan memasang wajah ramah di hadapan Bu Nila karena masih ada Bu Saras. Makan siang yang berat karena harus berpura-pura.

"Doakan biar seperti Lita jadi aku bisa segera menimang cucu sepertimu," ucap Saras dengan nada menyindir. Dia tahu anak Nila menikah belum genap 9 bulan tapi Nila sudah memiliki cucu berumur 3 bulan.

"Ah, iya. Cucuku lucu sekali. Aku jadi nggak sabar ingin lihat anak Rolan tapi anak itu masih saja betah sendiri."

"Rolan?" ulang Alaric, membeo tanpa sadar.

"Iya. Kamu kenal?"

Sengaja Nila melirik Ginela tapi Ginela tidak mudah terpancing. Dia memasang wajah datar seolah tidak terpengaruh meski dalam hati ingin melempar wanita di hadapannya ini. Bukankah itu manusiawi?

"Mungkin. Partner di kantor saya juga Rolan, Rolan Dawasa. Dia dari perusahaan Goland."

"Ah, anak itu memang sulit diatur sejak kenal seseorang. Dia malah bikin perusahaan sendiri bukannya bantuin papanya. Semua gara-gara wanita itu. Wanita yang mencari pria-pria kaya agar bisa hidup enak."

"Bagus, dong. Anak jadi mandiri," sahut Saras.

"Iya, tapi Rolan jadi pembangkang gara-gara wanita itu. Nggak mau dengerin aku sama sekali. Memang apa sih yang dilihat dari wanita itu daripada mamanya sendiri? Jelas-jelas wanita itu wanita penggoda yang cuma mengincar harta," ucap Nila menggebu-gebu seraya menatap Ginela terus-menerus.

"Anda kenapa melihat istri saya seperti itu?"

"Oh, maaf. Ginela mengingatkanku dengan wanita itu. Mereka mirip."

Ginela masih berusaha tersenyum, dia takut saat mulutnya terbuka emosinya akan meledak dan semuanya menjadi kacau.

"Tentu saja beda. Menantuku nggak gila harta. Tapi walaupun gila harta juga nggak masalah. Harta keluarga Wenner nggak akan habis 7 turunan. Jadi itu bukan masalah besar. Yang penting anakku bahagia."

Seketika Ginela menggingit bibirnya agar tidak kelepasan tertawa keras. Melihat wajah Nila yang malu dan pias membuatnya ingin tertawa terbahak-bahak. Ginela bersyukur orang-orang di sekitarnya sekarang sangat melindunginya. Dia tidak perlu mengotori tangannya karena sudah ada yang pasang badan.

Makan siang yang berat dan terasa begitu lama. Untung saja segera berakhir. Alaric langsung pamitan setelah makan seolah tahu perasaan Ginela yang lelah berpura-pura.

Ginela menghela napas lega saat duduk di mobil. Alhirnya bisa terlepas dari nenek sihir yang berlidah tajam. Untung saja dia tidak jadi menjadi menantu Nila. Bisa kena mental jika itu terjadi. Tanpa sadar Ginela terkekeh.

"Kenapa tertawa?"

"Nggak pa-pa."

"Senang ya ketemu mantan calon mertua?"

"Apa, sih? Aku cuma ingin ketawa aja tiap ingat kata-kata mamamu dan lihat ekspresi wanita tua itu. Akhirnya ada yang bisa mengalahkan kesombongan penyihir itu."

Alaric mengusap kepala Ginela. "Kamu baik-baik saja 'kan?"

"Tentu saja. Aku memilikimu yang jelas lebih kaya dari wanita tua itu seperti kata mamamu," ucap Ginela lalu tertawa lepas tidak bisa menahan diri lagi.

"Dia pernah memberiku uang hanya untuk meninggalkan anaknya. Kurasa wanita tua itu terlalu banyak nonton drama TV," ucap Ginela setelah berhenti tertawa.

"Kamu menerimanya?"

"Tentu saja aku terima."

"Serius?"

"Iya. Aku sangat emosi waktu itu. Rolan meninggalkanku, aku sedang patah hati tapi wanita tua itu menemuiku memberiku uang. Dan aku mengambilnya hanya untuk membuat dia kesal. Orang pelit seperti dia pasti kesal bukan main karena ternyata aku menerimanya."

Alaric pun ikut tertawa. "Bagaimana bisa kamu berpikir seperti itu di saat patah hati? Lalu sekarang di mana uangnya?"

"Entahlah. Aku mentransfer uang itu ke Rolan dan memberikan pesan singkat ke emailnya."

"Email?"

"Nomorku diblock jadi aku hanya bisa mengiriminya email. Sudahlah, aku malas mengingat kejadian waktu itu. Hidupku baik-baik saja sekarang untuk apa mengingat hal yang menyedihkan."

"Sungguh? Kamu sudah nggak patah hati?"

"Apa aku terlihat seperti istri yang patah hati karena pria lain?" tanya Ginela dengan gerakan menggoda, tangannya membelai rahang Alaric.

Alaric tidak bisa menyembunyikan senyumannya. Dia meraih tangan Ginela dan mengecupnya. "Hari masih panjang dan pekerjaanku masih banyak. Ini benar-benar siksaan."

Ginela terkekeh lalu mengecup pipi Alaric. "Ayo, kembali ke kantor!"

Ginela menatap ke luar dengan bibir tersungging. Biar pun hari ini buruk karena harus berhadapan dengan orang yang tidak ingin dia temui lagi tapi hari ini dia menemukan satu kebahagiaan. Alaric dan mama mertuanya masih menyukainya. Dia berharap hal itu akan selamanya.

Ginela menggigit bibirnya. Lagi-lagi dia kalah dan kembali membuat harapan yang berpotensi menyakitinya. Apakah semua manusia sepertinya? Atau hanya dia yang lemah dan mudah berharap meski sudah berusaha memasang hati sekeras batu.

****
Aku update lagi 🤣🤣
Happy Sunday! Jaga kesehatan ya.
Votenya please.... Maaf ya udah jarang balas komentar soalnya lagi jarang pegang hp kecuali lagi nulis.
Lav you 😘

One Night StandWhere stories live. Discover now