6

88.1K 5.3K 245
                                    

Ginela menggantung tasnya dan mempersilakan Alaric duduk di sofa panjang berwarna putih senada dengan warna ruangan yang serba putih. Apartemen kecil dan minimalis yang cukup untuk ditinggali wanita single yang tidak suka memiliki barang-barang tidak berguna. Hanya ruang tamu berisi 1 sofa panjang, 1 meja yang multifungsi bisa untuk meja makan sekaligus meja tamu dan meja santai, dapur kecil, 1 kamar tidur, dan 1 ruangan yang dia gunakan sebagai gudang.

Ginela merasa perlu bicara lagi tentang pernikahan. Itu bukan hal sepele baginya. Mau dia pikirkan sampai kepalanya meledak keputusannya masih tidak ingin menikah.

"Pak Aric mau minum apa?"

"Air putih saja."

Ginela memberikan air mineral dingin lalu ikut duduk.

"Pak, saya tidak mau menikah."

Alaric urung meminum air putihnya.

"Kenapa berubah pikiran lagi? Bukankah tadi siang kamu setuju?"

"Kalau saya tidak hamil bagaimana, Pak? Pak Aric akan rugi menikahi saya. Saya itu tidak bisa masak, tidak kaya, dan bukan wanita baik-baik."

Alaric mengulum senyum tidak percaya mendengar hal seperti itu dari mulut Ginela. Baru kali ini dia mendengar orang menjelek-jelekkan diri sendiri di hadapannya.

"Kalau kamu hamil bagaimana?"

"Ya nggak gimana-gimana, Pak. Sudah terjadi mau bagaimana lagi. Saya nggak mungkin membunuhnya meski saya sendirian."

"Kalau kita nggak menikah dan ternyata kamu hamil. Orang akan membicarakanmu, itu akan berpengaruh pada kehamilanmu."

"Tapi 'kan saya belum tentu hamil. Kalau saya ternyata nggak hamil tapi menikah dengan Pak Aric terus nasib saya gimana, Pak?"

"Nasib kamu tentu akan sejahtera. Nggak mungkin saya menelantarkan istri saya."

"Memang Pak Aric nggak ingin menikah sama orang yang disuka atau yang kaya atau yang pinter masak atau yang cantik atau yang apa gitu, Pak?" Ginela makin dibuat frustasi.

"Saya single dan tidak sedang berhubungan dengan siapapun kalau itu yang kamu takutkan."

"Pak tapi saya itu bukan wanita baik-baik. Saya itu suka ganti-ganti pasangan jadi Pak Aric nggak perlu bertanggung jawab. Tapi tenang saya nggak penyakitan."

Alaric terdiam. Harga dirinya pecah berkeping-keping. Dia tidak berarti dan tidak berkesan sedikit pun untuk Ginela.

"Apa saya sama dengan pria-pria sebelumnya?"

Mendapat pertanyaan itu Ginela tidak berani menjawab. Tidak mungkin dia menjawab dengan jujur. Mengingatnya saja membuat seluruh badannya panas dingin jadi haus belaian.

"Bagaimanapun kamu harus bertanggung jawab terhadap saya. Kamu yang pertama dan kamu harus bertanggung jawab."

Refleks mulut Ginela menganga.

"Hamil atau tidak kamu tetap harus menikahi saya!"

Dunia sudah terbalik kah? Kini pria yang meminta pertanggungjawaban. Ginela tidak bisa membantah lagi karena bingung. Sepertinya bosnya sudah tidak waras. Seumur hidup menjadi istri Alaric? Sehari saja dia tidak mau. Ginela menggelengkan kepala.

"Pak, tapi saya itu nggak punya keluarga. Hidup sendirian dan bukan wanita baik-baik."

"Saya tidak masalah."

"Keluarga Pak Aric? Pasti nggak akan suka dengan saya. Lihat lagi dong, Pak. Saya ini nggak berbobot. Nggak jelas bebet bibit bobotnya." Ginela menarik Alaric untuk melihatnya sekali lagi.

"Semakin kamu menolak seperti itu saya malah merasa saya yang nggak masuk kriteriamu. Apa saya bukan tipe ideal untuk jadi suamimu?"

"Bukan begitu, Pak."

"Seperti apa kriteria suamimu? Apa seperti Zio?"

"Zio? Ah, bukan, Pak. Saya tidak punya kriteria suami."

"Lalu kenapa kamu menolak saya?"

Ginela menjejakkan kakinya seperti anak kecil. Dia bingung harus mengatakan apalagi agar bosnya paham. Dia tidak mau memiliki keluarga yang berantakan. Cukup sendirian saja jadi tidak ada beban.

"Pak, saya sukanya sendirian. Bapak ngerti nggak sih?"

"Nggak."

"Nggak gimana?" Alis Ginela terus beradu.

"Kalau kamu suka sendirian kamu nggak mungkin bersama saya malam itu."

"Itu beda cerita, Pak."

"Saya nggak mau dengar lagi. Kamu punya apa di sini?"

"Punya apa?" Ginela tidak paham.

"Bahan makanan."

Alaric membuka kulkas hanya berisi air mineral dingin, minuman berkafein, minuman bersoda, dan susu. "Kamu nggak punya makanan?"

Ginela menggeleng. Dia tidak pernah masak. Untuk apa masak jika dengan membuka ponsel, makanan lebih cepat datang?

Alaric membuka ponselnya dan memesan beberapa makanan. "Kamu harus hidup sehat."

"Pak, tolong berhenti mengatur saya. Cukup di kantor saja saya diatur."

"Sebaiknya kamu pindah saja ke apartemen saya. Jadi saya bisa tenang mengetahui kamu hidup nyaman dan berkecukupan."

"Oh, tidak!" Seketika Ginela berteriak.

"Bagaimanapun kita akan segera menikah. Cepat atau lambat kamu akan pindah ke tempat saya. Bukankah lebih cepat lebih baik?"

"Pak, saya nggak mau nikah." Ginela sampai menarik lengan Alaric agar melihatnya dan melihat kesungguhan di wajahnya.

"Tapi kamu harus bertanggung jawab."

Ginela meluruhkan badannya di sofa. "Terserah Pak Aric sajalah. Saya pusing."

"Kamu pusing apa perlu ke dokter?"

"Ya ampun, Pak. Selama ini Pak Aric tinggal di mana sih?" Ginela tidak memahami bosnya ini polos atau sedang mempermainkannya.

"Saya tinggal di Jakarta. Hanya saat kuliah saja saya di Inggris."

Ginela memberanikan diri menatap bosnya dari dekat. Dia sudah tidak tahan lagi. Alaric seperti mahkluk purbakala. Tidak bisakah melupakan yang sudah lalu? Bukankah itu lebih menguntungkan bagi bosanya?

"Pak, boleh saya jujur?"

"Silakan."

"Pertama, saya punya trauma dengan pernikahan. Saya saja tidak punya bayangan untuk menikah bahkan tidak punya cita-cita untuk hal itu. Kedua, bisa dibayangkan Pak kita akan bersama selamanya, masa saya puasa sampe mati."

Ya, memang itu yang Ginela pikirkan. Tidak mungkin dia sanggup berdiam diri saat disuguhi sosok tampan nan gagah seperti Alaric. Bisa-bisa dia kena mental lalu jadi gila karena menahan birahi seumur hidup.

Alaric seketika tertawa, ternyata yang ada di benak perempuan di hadapannya sangatlah unik. Dia meraih wajah Ginela dan mendekatkan wajahnya. Mata Ginela yang mengerjap membuatnya tidak sanggup lagi menahan diri. Mana mungkin dia akan membiarkan wnaita cantik menahan diri seumur hidup.

Kecupan singkat mendarat di bibir Ginela dan perlahan menjadi lumatan dalam. Alaric mencoba mengingat-ingat kepingan lalu yang samar. Dia berhenti saat tangannya mulai membuka kemeja Ginela.

"Sepertinya cukup sampai di sini. Kita lanjut lain kali." Alaric mengecup singkat Ginela dan mengulum senyum melihat wajah frustasi calon istrinya.

Dengan begini Ginela tidak akan menolaknya lagi. Dia akan membuktikan bahwa tidak ada pria lain yang lebih layak darinya.

Sementara Ginela semakin frustasi karena hasratnya tidak tersalurkan dengan lancar. Berhenti di tengah jalan hanya membuatnya ingin meraung kesal.

****

Biar malamnya mimpi indah habis baca ONS. Hehehe
Good night 😘😘

One Night StandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang