47

26.6K 2.2K 38
                                    

Senyum Alaric tidak lepas seharian ini. Bagaimana bisa dia hanya mengingat bagian itu? Istrinya memang luar biasa. Pantas saja dia tergila-gila.

Bahkan saat ini dia merasa kesal jika melihat Ginela terlalu ramah dengan pria. Matanya memicing tajam melihat Ginela yang bicara terlalu ramah pada Rolan. Apa-apaan senyum itu? Haruskah istrinya tersenyum seperti itu? Pantry begitu luas kenapa mereka berdekatan?

"Permisi, Pak."

"Ya, ada apa?"

"Maaf saya mau lewat, Pak," jawab Mia -sekretaris Alaric.

"Oh." Alaric mundur, memberikan jalan pada sekretarisnya yang akan masuk ke pantry.

"Pak Aric membutuhkan sesuatu? Mau saya buatkan minum?"

"Panggil istri saya!" Alaric menunjuk dengan sudut matany.

Mia mengangguk memahami. Dia mendekati Ginela yang berdiri di depan mesin pembuat kopi.

"Permisi, Kak Gin, Pak Rolan."

"Silakan." Ginela memberi ruang pada Mia, dia pikir Mia ingin menggunakan mesin kopi.

"Kak Ginela dipanggil Pak Aric."

"Gue?" Ginela mengikuti arah pandang Mia. Ternyata Alaric ada di depan pintu masuk pantry. "Oh, oke. Makasih ya."

Mug putih yang tengah Ginela pegang diletakkan di meja. Dia menghampiri Alaric yang berwajah masam.

"Ada apa?"

"Apa pantry di sini masih kurang luas?"

Refleks Ginela menoleh ke dalam dan mengamati pantry yang sangat luas. Bahkan mungkin di perusahaan lain tidak seluas ini. Ada sofa panjang, meja bulat dengan 4 kursi, dan ada kursi bar yang berjejer di depan meja bar.

"Ginela Heera," panggil Alaric yang kesal istrinya tidak memahami ucapannya. "Ikut aku."

Langkah panjang Alaric sulit diimbangi hingga Ginela menarik tangan pria itu dengan keras. "Pelan-pelan. Aku bisa jatuh. Langkahmu terlalu lebar."

"Maaf. Kamu nggak apa-apa 'kan?" Ekspresi Alaric langsung berubah panik. Dia menyesal telah diselimuti cemburu. Padahal dia merasa hanya berjalan biasa tapi ternyata membuat Ginela kesulitan.

"Ada apa sebenarnya? Bukankah kita tadi baru saja bertemu?"

"Kamu nggak boleh minum kopi!" Hanya kalimat itu yang meluncur dari mulut Alaric. Dia tidak mau ketahuan cemburu pada Rolan.

"Aku nggak minum kopi. Aku baru mengambil air putih."

"Lalu ngapain di depan mesin kopi?"

"Tadi hanya ngobrol soal pekerjaan dengan Rolan."

"Rolan?" Alaric menyipitkan mata, curiga. "Semanis itu panggilanmu untuk Pak Rolan?"

"Manis? Aku hanya memanggil namanya. Apanya yang manis?" Ginela heran di mana letak manisnya? Kecuali dia memanggil dengan sebutan Sayang.

"Apa kalian seakrab itu sampai memanggil namanya saja?"

Ginela mengulum senyum, menahan diri untuk tidak tertawa lepas. Kini dia paham di mana letak kesalahannya hingg membuat suaminya kekanak-kanakan tidak jelas.

"Mungkin kamu lupa, aku dan Rolan sudah kenal lama bahkan saat kami masih kuliah."

"Hanya itu?"

"Dan dia mantan pacarku," lanjut Ginela dengan tenangnya.

Alaric terdiam mencerna kalimat Ginela. Mantan pacar? Dia menatap ke sekeliling lalu menarik Ginela masuk ke ruangannya. Mendudukkan istrinya dengan lembut mengingat Ginela tengah hamil muda.

One Night StandWhere stories live. Discover now