3

109K 5.7K 65
                                    

"My Darling. Maafin gue, ya, Sayang."

Nara menghambur memeluk Ginela yang membukakan pintu untuknya. "Lo udah nggak marah 'kan?"

"Percuma gue marah. Nggak akan merubah kenyataan kalau yang tidur sama gue itu bos gue." Ginela melepas pelukan Nara lalu merebahkan badannya di sofa. Kembali melihat acara TV favoritnya, I Live Alone.

"Terus gimana?" tanya Nara hati-hati.

"Gimana apanya?" Ginela tidak habis pikir dengan pertanyaan Nara. Masih berani tanya bagaimana.

"Ya, lo di kantor. Beneran deh gue nggak tahu kalau dia bos lo."

"Nggak usah pasang tampang memelas. Jijik gue."

Nara langsung merubah ekspresinya jadi tersenyum lebar lalu mendekati Ginela. "Jadi gimana bos lo?"

"Nggak tahu."

"Jangan ngibul lo."

"Gue lupa."

"Yakin? Kok muka lo merah?"

Bantal sofa mendarat keras di wajah Nara. "Jangan banyak omong atau gue lempar lo dari balkon. Bawa apa lo?"

"Bawa diri."

Ginela menatap tajam Nara yang langsung nyengir mengeluarkan ponselnya. "Kita pesen online aja, ok? Lo mau apa, pilih sesuka hati lo."

"Kesalahan lo fatal tapi cuma ngasih gue makanan?"

"Perut kenyang hati senang," ucap Nara yang sudah sangat hafal sahabatnya ini tidak akan marah padanya.

"Lo beneran nggak inget apa-apa?" Nara kembali bertanya.

"Lo nanya lagi serius gue usir lo!"

"Gue cuma penasaran. Siapa tahu kayak di drama-drama gitu."

"Lo kebanyakan nonton drama. Ini Jakarta, nggak semanis drama."

"Gue masih nggak nyangka temen Leo itu bos lo. Berarti Leo bukan cowok sembarangan juga, ya." Nara masih saja bicara tidak kenal takut meski Ginela sudah berkali-kali memukulnya dengan bantal sofa.

"Lo emang pengkhianat. Cuma karena cowok, gue lo buang ke sembarang orang."

"Hei, bos lo bukan sembarang orang. Dia bos lo. Otomatis doi kaya. Soal tampang gue lihat waktu itu lumayan meski gue nggak terlalu ngeh juga. Soalnya dia juga mabuk berat."

Ginela bangkit dari posisinya lalu duduk bersila.

"Jadi Pak Aric juga mabuk? Berarti dia nggak ngerti gue dong?"

"Oh namanya Aric? He-eh, kalian berdua mabuk berat dan gue males ngurusin lo jadi gue jadiin aja lo sekamar sama bos lo. Gue sama Leo, deh."

Nara dengan percaya dirinya berkata seperti itu. Wajah Ginela seketika murka dan memukul Nara membabi buta dengan bantal yang tidak berdosa.

***

Ginela lebih percaya diri berangkat ke kantor dengan keyakinan bosnya tidak mengingatnya. Dia juga tengah bahagia karena sudah melampiaskan kemarahannya pada Nara. Ginela tersenyum miring memasuki kantor, mengibaskan rambutnya yang dia curly bagian bawahnya.

"Tumben ke kantor dandan?" celetuk Zio sembari menarik sejumput rambut Ginela.

"Biasanya juga dandan 'kan?"

"Maksud gue rambut lo."

"Oh. Suasana baru." Ginela memegang rambut keriting gantungnya yang biasanya dikuncir kuda atau sekadar dibiarkan tergerai lurus. Dia tidak pernah berdandan totalitas hanya untuk ke kantor. Baginya ke kantor itu untuk bekerja bukan untuk menggoda.

"Sepertinya suasana hati lo udah balik."

"Tentu saja. Gue sudah ngabisin Nara semalam."

"Lo apain Nara? Nggak mungkin lo nyiksa dia 'kan?"

Ginela tersenyum miring membayangkan Nara yang mendadak miskin. Dia tidak suka kekerasan secara fisik. Dia pun mengangkat tas branded yang baru dia beli dan memamerkan pada Zio.

"Ini salah satunya," ucap Ginela.

Zio tidak bisa lagi menahan tawa membayangkan Ginela mengeruk habis uang Nara bulan ini.

"Astagah." Ginela memekik pelan dan langsung berhenti, bersembunyi di balik Zio.

"Ngapain lo?"

"Itu, itu." Ginela menunjuk Alaric.

"Mau sampai kapan lo begini. Kayaknya kemarin bos biasa aja. Jadi lo biasa aja lah."

"Lo bener juga. Anggap aja nggak pernah ketemu, itu 'kan prinsip ONS."

Lagipula Alaric tidak mengingatnya, karena alasan itu dia percaya diri berangkat ke kantor pagi ini. Kenapa harus bersembunyi lagi?

Dengan semangatnya Ginela menyapa Alaric. "Pagi, Pak."

"Pa..." Alaric tidak sempat menyelesaikan ucapannya saat menoleh dan melihat Ginela. Dia akhirnya hanya mengangguk pelan dengan senyum tipis sebelum masuk ke dalam lift.

"Lo kelewat semangat!" Zio menepuk bahu Ginela.

"Lo lihat 'kan tadi? Si Bos kayaknya nggak inget atau pura-pura nggak inget. What ever gue nggak peduli. Yang penting semua baik-baik aja. Hari indah gue kembali. Gue nggak akan jadi pengangguran miskin."

"Selamat, deh!"

Ginela memasang senyum cerah ceria sepanjang jalan menuju ruangannya. Dia pun bersenandung kecil.

****

Baru saja Ginela mendaratkan bokongnya, seseorang sudah memanggilnya.

"Kak Gin," panggil Dini anak magang di ruangannya.

"Ya?"

"Kak Gin dipanggil ke ruangan Pak Alaric."

"Gue?" Suara Ginela nyaris menyerupai teriakan sampai orang di ruangannya menoleh ke arahnya.

"Iya. Tadi ada telepon dari sekretaris Pak Alaric katanya kalau udah selesai istirahat suruh ke ruangannya."

"Mati gue!" Ginela menoleh ke arah Zio yang pura-pura tidak melihatnya. Dia pun mendorong kursi Zio dengan kakinya.

"Apa?"

"Jangan pura-pura nggak denger, deh!"

"Iya, terus gue suruh ngapain? Gantiin lo ke sana? Nggak mungkin 'kan?"

"Ya apa kek, simpati kek, apa kek."

"Nanti gue kirim parcel buah kalau lo pingsan dan masuk rumah sakit."

"Sialan!"

"Udah sana ke sana. Jangan sampai Pak Bos nunggu. Lo nggak mau jadi pengangguran 'kan?"

"Astaga lo tega bener sih sama gue, Zio." Ginela luruh duduk di kursinya.

"Bukannya gue kejam. Cuma lo nggak punya pilihan selain ke sana. Gue bakal bantu kalau udah ada jalan cerita baru. Misal lo dipecat, gue bantu nyariin kerjaan baru."

"Mati aja lo!" Ginela menjitak kepala Zio.

Dengan berat hati Ginela menuju ruangan Alararic. Sepanjang jalan dia menggerutu memiliki teman-teman brengsek seperti Nara dan Zio. Temannya tidak ada yang normal.

Apa yang akan terjadi padanya? Ginela bimbang mencengkeram handle pintu menuju ruangan Alaric

***

One Night StandWhere stories live. Discover now