10

73.9K 4.4K 120
                                    

Akhir-akhir ini rasa canggung jadi teman setia Ginela. Memasuki apartemen mewah dia justru merasa tidak nyaman. Padahal biasanya dia sangat bahagia memasuki tempat-tempat mewah yang hanya bisa dia rasakan sesekali.

Hawa dingin seperti berhembus ke arahnya saat dia mengikuti Alaric masuk ke dalam ruangan. Ginela celingukan mengamati isi kamar yang sangat luas dan terlihat kosong.

"Ini kamarnya. Kamu bisa meletakkan barang-barangmu sesukamu. Ruang ganti dan pakaian ada di samping, kamu bisa masuk lewat situ." Alaric menunjuk pintu di sisi kanan. "Saya tinggal, kalau butuh apa-apa panggil saja."

"Baik, Pak."

"Oh ya, jangan panggil saya Pak lagi di rumah."

Ginela hanya melebarkan mata dan mengangkat alisnya. Lalu dipanggil apa?

Seolah memahami ekspresi Ginela, Alaric tersenyum tipis. "Panggil saya Aric saja. Di rumah kita bukan atasan dan bawahan."

"Baik, Pak. Eh, iya."

Bukannya pergi Alaric justru masuk ke ruang ganti. Ginela pun jadi bertanya-tanya tentang kamar ini. Apalagi saat melihat Alaric membawa baju keluar dari ruangan ganti.

"Pak, maaf mau tanya."

"Jangan panggil saya, Pak."

"Iya, maaf."

"Jangan minta maaf terus. Tanya apa?"

"Ini kamar saya 'kan?"

"Iya."

"Oh, ya udah."

Ginela merasa lega. Dia sempat berpikir ini kamarnya bersama Alaric. Tapi kelegaannya sirna seketika.

"Ini kamar saya juga," ucap Alaric.

"Hah?"

"Kenapa?"

"Saya di kamar tamu saja."

"Nggak ada istri tidur di kamar tamu."

Ginela menelan ludah. Dia takut tidak bisa menjaga diri. Mau ditaruh di mana mukanya kalau dia berubah jadi beringas. Apalagi Alaric bukan pria tanpa pesona. Siapa yang akan menjamin tidak akan terjadi apa-apa?

Ginela menunduk resah. Mau jadi seperti apa kehidupan pernikahannya nanti? Haruskah dia mengikat tangannya sendiri?

"Kamu keberatan?" tanya Alaric.

"Apa kalau saya keberatan saya boleh tidur di kamar lain?" Ginela memberanikan diri. Dia takut pada dirinya sendiri yang akan berubah jadi monster jika sekamar dengan bosnya yang tampan.

"Kenapa, kamu keberatan?" Alaric menyilangkan tangan di dada.

Hanya merubah pose seperti itu saja jiwa nakal Ginela sudah berkobar. Ginela menggelengkan kepala mengenyahkan pikiran nakalnya.

"Pak, 'kan kita belum nikah. Mulai weekend besok saja gimana?"

"Pak?" ulang Alaric.

"Maksud saya....." Ginela kesulitan memanggil nama Alaric. Bagaimana bisa dia memanggil bosnya dengan sebutan nama? Untuk mencoba saja bibirnya kelu.

"Saya punya hukuman setiap kamu memanggil saya Pak," ucap Alaric yang sudah menunggu Ginela meneruskan ucapannya tapi tidak juga bicara.

"Hukuman apa?"

"Terserah saya. Karena itu berhentilah memanggil saya Pak."

"Baik." Ginela menunduk.

Alaric menyentil kening Ginela yang menunduk. "Bersikaplah biasa, ini rumah bukan kantor. Kamu istri saya bukan pembantu saya."

"Calon," ralat Ginela.

"Saya tidur di sofa. Kamu tidurlah di kasur. Berdebatan malam ini selesai 'kan? Saya mau mandi."

"Tapi, Pak."

Ginela langsung menutup mulut menyadari kesalahannya.

"Tunggu hukuman dari saya."

Alaric pergi meninggalkan rasa penasaran pada Ginela. Hukuman apa yang akan diterima Ginela? Wanita dengan tinggi 165 cm itu resah seketika.

***

Ginela tidak bisa memejamkan matanya. Dia menarik selimut sampai ke dada. Jika situasinya begini dia juga takut sebagai perempuan. Dia bahkan tidak ada keinginan untuk membuka ponsel karena dia sibuk dengan pemikirannya sendiri.

Saat pintu kamar terbuka jantungnya nyaris lepas saking kagetnua. Dia mencengkeram selimut yang dia tarik sampai dada.

"Kamu sudah mau tidur? Makan dulu. Makanannya sudah siap."

"Makan?"

"Iya, makan. Kamu belum makan malam. Ayo, makan dulu."

Alaric mendekat membuat Ginela refleks bangun lalu berdiri. Dia tidak mau ada di posisi tidur saat Alaric semakin dekat. Rasanya pasti akan canggung, sekarang saja sudah kikuk.

"Ayo makan," seru Ginela langsung keluar kamar.

Alaric mengerutkan kening. Selama beberapa hari berinteraksi dengan Ginela, dia banyak merasakan keasingan. Dia bukan pria polos meski bercinta dengan Ginela itu yang pertama. Dia sudah terbiasa dekat dengan wanita tapi Ginela sungguh aneh baginya.

Awalnya Alaric pikir Ginela wanita yang menganut free sex. Tapi makin ke sini sikap Ginela seperti wanita yang baru saja dekat dengan pria. Dia jadi bingung sendiri menghadapi wanita yang sebentar lagi akan jadi istrinya.

Mereka duduk berdua di meja makan dengan hidangan lengkap yang khusus Alaric pesan. Alaric hanya meminum susu berproteinnya lalu mengamati Ginela yang memakai piyama panjang lebih intens. Dia masih memikirkan keputusannya untuk menikah.

Keputusannya memang sudah bulat tanpa ragu meski akhirnya mungkin Ginela tidak hamil anaknya. Tapi dia ragu bisa mempertahankan apa yang sudah dia miliki karena tidak ada perasaan di dalamnya. Dia pun yakin Ginela tidak memiliki perasaan apapun padanya. Terlihat dari cara wanita itu menolaknya dan tatapan Ginela terlihat tidak tertarik padanya. Sungguh berbeda dengan malam itu.

"Kenapa? Ada kotoran di wajah saya?"

"Nggak. Habiskan!"

"Kalau... Pak, rasanya aneh kalau saya nyebut Anda, kamu atau manggil nama." Ginela sudah frustasi hanya karena perihal nama panggilan. "Gimana dong?"

"Ya dibiasakan. Coba panggil nama saya."

Lama Ginela hanya diam. Sungguh itu bukan hal mudah karena jauh dari kebiasaan. Apalagi penampilan Alaric begitu rapi meski hanya di dalam rumah, sangat cocok dengan image sebagai bos. Memakai kemeja pendek dan celana chino.

"Ayo dicoba!"

"Kamu di rumah juga berpakaian rapi?" Ragu Ginela menyebut kata kamu, begitu aneh, dan sepertinya tidak pas. "Pak, rasanya aneh saya manggil kamu."

"Panggil nama. Ayo coba!"

"A-ric." Bibir Ginela seperti habis disuntik bius, kaku dan sulit bergerak.

"Ya?"

"Sepertinya saya sudah kenyang. Saya mau tidur saja."

"Tolong dibiasakan. Ini solusi agar kita bisa nyaman hidup bersama."

"Ya ampun. Saya udah menyerah. Bapak ini manusia apa malaikat, sih? Gimana saya bisa bicara nyaman kalau Pak Aric aja bicaranya santun banget. Coba sekarang Pak Aric bicara santai sama saya, gantian. Biar saya bisa manggil Pak Aric dengan santai juga."

"Gimana caranya?"

"Nah, Pak Aric cari solusinya dulu baru kita bahas ini lagi nanti. Sekarang saya mau tidur dulu. Pak Aric beneran mau tidur di sofa?"

"Memang saya boleh tidur di kasur?"

"Nggak." Secepat kilat Ginela menolak. Bukan karena dia takut diterkam. Tapi dia takut akan menerkam bosnya. Mau diletakkan di mana mukanya nanti?

***

Aku update lagi!
Part 11 ~~ 17+. Siapin mental biar nggak gigit bantal 🫣
Mau aku update lebih cepet?
Mau dong tinggalin komentar yang banyak dan votenya ya... Thank you
Aku seneng nulis ini karena banyak yang nungguin 🥹🥹
Happy satnight 😘

One Night StandWhere stories live. Discover now