20

49.4K 3K 56
                                    

Kehidupan setelah pindah di apartemen bersama Alaric begitu banyak yang berubah. Tidak ada pulang kerja langsung rebahan di atas kasur tanpa mengganti pakaian dulu. Alaric akan memberinya tatapan mata tajam untuk segera mandi dan berganti pakaian bersih. Tidak ada lagi pulang kerja melempar tas sembarang. Harus langsung diletakan pada tempatnya.

Ginela sudah bersih dan berganti pakaian dengan kaos longgar dan celana pendek. Dia mengintip Alaric yang berada di ruang kerja sebelum ke dapur.

"Aku sudah selesai mandi," serunya agar Alaric segera mandi.

"Ya, aku masih mau membaca ini."

Ginela memberanikan masuk ke ruangan itu. Sebelumnya dia tidak pernah. Dia hanya berkutat di kamar, ruang santai, dan dapur.

"Boleh masuk?"

"Masuklah," jawab Alaric tanpa melihat Ginela.

"Kalau masih banyak kerjaan kenapa tadi pulang cepat?"

"Biar bisa pulang bareng."

"Jangan gitu. Kalau masih banyak kerjaan selesaikan di kantor saja. Di rumah itu untuk istirahat. Aku nggak pernah bawa kerjaan ke rumah. Di rumah itu tempat istirahat bukan kerja."

Alaric menghentikan kegiatannya lalu mendongak, melihat Ginela yang berdiri di seberang meja. "Ok. Lain kali akan kuselesaikan di kantor. Tapi sekarang aku hanya membaca ulang ini. Besok aku ada meeting di luar. Sepertinya ada yang kurang jadi kubaca lagi."

"Baiklah. Mau aku buatkan minum?"

Bukannya menjawab Alaric justru bangun dari posisinya dan meraih Ginela ke pelukannya. "Begini ya rasanya punya istri? Dimarahi lalu dibuatkan minum?"

Ginela memukul dada Alaric. "Apaan, sih?" Wajahnya sudah memerah tersipu malu ditatap Alaric.

Sebuah kecupan mendarat di bibir Ginela.

"Jangan mancing! Lepasin!" Ginela berusaha mendorong Alaric. "Aku buatkan minum dulu."

Alaric terkekeh melepas pelukannya. "Jangan buatkan aku kopi. Bawakan air dingin saja. Aku sudah terlalu banyak minum manis hari ini."

"Ok."

Alaric menatap punggung Ginela yang menjauh lalu tersenyum dan mengetuk meja. Dia gemas sendiri dengan situasi saat ini. Tidak terbayangkan menikah dengan Ginela akan seperti ini. Begitu manis dan memiliki kemajuan pesat.

Dia merasa tidak salah pilih, keyakinannya memang benar. Wanita yang suka curhat dengan kucing di kantornya memang lain. Apalagi mengingat curhatan Ginela yang absurd dan random pada seekor kucing. Ginela seakan memiliki kepribadian ganda. Terkesan buas seperti harimau tapi sebenarnya menggemaskan seperti kucing.

"Ini minumnya. Kamu nggak makan? Aku saja yang wanita nggak kenal dengan diet tapi kenapa kamu nggak suka makan malam?" Ginela meletakkan gelas air dingin di meja.

"Aku minum susu aja nanti," jawab Alaric yang sudah kembali duduk di kursinya.

"Yakin nggak makan?"

"Yakin. Aku sudah lama nggak olahraga, jangan sampai aku berbuat dosa dengan makan malam."

"Kamu nggak gay 'kan?" Pertanyaan spontan dari bibir Ginela tanpa rem.

Alaric menoleh dan mengerutkan kening.

"Biasanya laki-laki yang gila olahraga dan jaga tubuh suka belok. Temen-temen aku di tempat gym gitu." Ginela nyengir. Beberapa temannya di tempat gym memang seperti itu, jadi membuatnya selalu negative thinking dengan pria berbodi L Men.

Alaric kehilangan kata-kata seketika. Setelah hampir sebulan bersama, Ginela justru menganggapnya gay? Pemikiran Ginela benar-benar di luar kendali.

"Aric. Kamu marah ya? Maaf."

Alaric menyuruh Ginela untuk mendekat dengan tangannya. Ginela pun mendekati kursi Alaric, cengar-cengir, antara takut tapi nasi sudah menjadi bubur. Ucapannya tidak bisa ditarik kembali.

Ginela duduk di meja kerja sementara Alaric berdiri, mendekat, dan bertumpu pada meja.

"Aku susah payah jaga badan, istriku malah bilang aku gay?" Alaric masih syok dengan pemikiran Ginela tentangnya.

Ginela langsung menggeleng cepat dan kembali nyengir. Menahan dada Alaric yang condong ke arahnya. Dipikir-pikir nggak mungkin juga Alaric gay setelah apa yang terjadi. Tapi bisa saja 'kan gay yang menganut biseksual? Badan Alaric terlalu sempurna jadi mencurigkan.

"Aku harus bagaimana?"

"Bagaimana apanya?" Ginela tidak berani menatap balik mata Alaric.

Alaric menjauh lalu duduk kembali di kursi, tangannya memijit pelipis. Masih tidak habis pikir setelah malam-malam panas, istrinya menganggapnya gay. Seketika dia insecure oleh penilaian Ginela padanya. Apa karena dia kurang berpengalaman?

"Aric," cicit Ginela.

"Kamu makan dulu saja sana. Aku mau mandi." Alaric bangkit dan berpikir untuk mandi agar kepalanya dingin dan bisa kembali berpikir.

"Jangan marah." Ginela menyusul Alaric. "Bukan maksud aku. Cuma kamu itu terlalu sempurna. Nggak ada lemak sedikit pun di perutmu. Kamu nggak perlu seketat itu dietnya. Aku nggak masalah kok kalau perutmu nggak kotak-kotak."

Alaric berhenti hingga Ginela menabraknya. "Aku bukan diet, aku itu jaga kesehatan. Bagaimana aku menjelaskannya? Aku mandi dulu saja." Alaric mengacak rambutnya frustasi.

Dari dulu Alaric memang sangat menjaga kesehatan dan tubuhnya. Dia ingat bagaimana orang-orang memandangnya saat dia gemuk. Dia tidak menyukai tatapan itu.

"Berhenti marahnya baru boleh mandi." Ginela menghadang, merentangkan tangannya.

"Aku nggak marah."

"Tapi gitu."

"Aku cuma frustasi. Bagaimana bisa setelah apa yang terjadi kamu menganggapku gay? Memang aku kurang apa?" Alaric mengusap wajahnya.

"Sama sekali nggak kurang apa-apa." Ginela langsung menggeleng cepat. Alaric bahkan nyaris sempurna. "Beneran nggak kurang apa-apa."

"Sudahlah aku mandi dulu. Cepat kamu makan jangan sampai telat. Pesan makanan sehat jangan junk food."

"Tapi kamu jangan marah lagi."

"Nggak marah."

"Senyum dulu!"

Alaric memaksakan senyuman. Bagaimana bisa senyum kalau hatinya tengah hancur? Pria mana yang nggak hancur hatinya dikatakan gay oleh istrinya?

"Kok ke sana?" Ginela masih membuntuti Alaric.

"Mau renang, ikut?" Alaric masih memaksakan bibirnya untuk tersenyum.

Ginela mengangguk lagi. Berenang malam-malam dengan suami sepertinya ide brilian. Pasti akan menyenangkan! "Ayo!" Ginela menyeret Alaric agar cepat mengikutinya.

Alaric bingung sendiri. Dia renang ingin mendinginkan kepala biar emosinya redam tapi Ginela malah mengikutinya bahkan kini setengah menyeretnya.

"Berenang berdua sepertinya menyenangkan. Aku belum pernah," ucap Ginela yang sudah merangkul lengan Alaric, matanya berbinar ceria.

Alaric semakin heran dengan kepribadian Ginela. Setelah menuduhnya gay sekarang memasang wajah ceria, mengajaknya berenang bersama.

"Duduk!" Ginela menyuruh Alaric duduk di kursi dan melepaskan kaos pria itu.

Ginela menatap tubuh Alaric intens hingga Alaric malu sendiri dan menutupinya dengan tangan.

"Tapi emang bagus sih perutnya kotak-kotak. Kalau perutmu buncit pasti kamu jadi lucu menggemaskan kaya anabul bukan gagah kaya.... Kaya apa ya?" Ginela bingung mendeskripsikan kegagahan suaminya sendiri.

Alaric langsung menarik tangan Ginela hingga wanita itu terduduk di pangkuannya.

"Berhentilah bicara," bisik Alaric lalu menggigit telinga Ginela. "Lanjut di sini atau ke kamar?"

Ginela nyengir. Di kamar sudah biasa, di kolam renang dia belum pernah. Lagipula kolam renangnya milik pribadi. Jadi tidak masalah bukan?

***

Happy reading!
Pemanasan pagi-pagi ya. Hehehe
Vote dan komentarnya selalu ditunggu. Oke??
Update lagi Jumat ya 😘

One Night StandWhere stories live. Discover now