8

72.2K 5K 115
                                    

Dalam hati Ginela berharap sangat keluarga Alaric menolaknya. Dengan sengaja Ginela tetap memakai pakaian kerja tidak mau berganti pakaian. Dia tidak mau terlihat mempersiapkan diri. Tujuan utamanya adalah ditolak.

Saat memasuki kawasan elit, Ginela terperangah, menoleh ke arah Alaric. Orang yang mengajaknya menikah bukan sembarang orang. Dia tahu kedudukan Alaric di kantor tinggi dengan umur yang masih terbilang muda, 36 tahun, tapi dia tidak menyangka Alaric sekaya ini.

Ginela semakin yakin keluarga Alaric akan menolaknya. Senyumnya terukir lebar. Dia siap mendengarkan hinaan dan penolakan sesadis apapun.

"Kamu tenang saja, orangtuaku sudah tahu kondisimu jadi semua akan baik-baik saja."

"Kondisiku? Maksudnya?"

"Tentang kamu yang hidup sendiri dan calon anak kita."

"Pak, saya belum tentu hamil. Bagaimana bisa Pak Aric bicara seperti itu ke orangtua Anda?"

"Saya juga bilang hal itu."

Ginela terbengong-bengong. Sepolos inikah bosnya yang katanya pernah tinggal di luar negeri? Atau Alaric termasuk anak mama? Atau Alaric tengah mempermainkannya?

"Ayo masuk!"

Ginela memasuki rumah yang begitu megah bergaya amerika. Harusnya dia tidak berdebar kencang tapi nyatanya dia tetap gugup, jantung berdebar lebih cepat, dan tangannya terasa dingin.

"Tanang saja." Alaric mengusap punggung tangan Ginela yang dia genggam.

Saat orangtua Alaric muncul, Ginela tidak bisa mengkondisikan ekspresinya. Pak Darian Dhanendra dan istri menyambutnya dengan senyuman tapi Ginela ingin kabur. Dia baru tahu bahkan orang kantor tidak ada yang tahu bahwa Alaric Wernes adalah anak pemilik Global Group.

Ini sangat membebaninya. Dia harus mencari pekerjaan baru sesegera mungkin. Tidak mungkin Pak Darian membiarkannya tetap bekerja di perusahaan dan berdekatan dengan putranya.

"Malam, Pak, Bu." Mau tidak mau Ginela pun bersikap sopan. Padahal niat awal dia ingin bersikap serampangan.

"Malam."

Jawaban singkat tapi seperti bom nuklir yang siap meledak dalam pikiran Ginela. Dia melirik Alaric, tapi yang dilirik terlihat sangat tenang. Dia tidak bisa tenang seperti sebelumnya. Kenyataan jauh dari bayangan. Lagi-lagi dia terperangkap keadaan.

"Ma, kenalin ini Ginela. Calon istriku."

"Oh, jadi ini calon kakak iparku."

Seorang wanita berparas cantik keluar menggandeng pria yang tidak kalah tampan dari Alaric. Apa semua orang di rumah ini tidak ada yang jelek? Ginela melihat dirinya yang terlihat kumuh.

Ginela menyalami Pak Darian, Bu Saras, dan Zanna -adik Alaric yang seumuran dengannya. Terakhir dia menyapa Arvin Aditama, suami Zanna. Kepalanya mau meledak hanya untuk mengingat silsilah keluarga yang sebenarnya tidak rumit sama sekali tapi dia tidak terbiasa mengingat hal semacam ini.

Keluarga? Keluarganya sudah lenyap sejak ibunya meninggal dan ayahnya yang brengsek ikut menyusul. Jadi tidak ada alasan baginya untuk mengingat-ingat silsilah keluarga. Dia tidak sedih sama sekali, dia hanya menyesal kenapa harus ibunya yang meninggalkannya bukan ayahnya saja.

Jika bukan karena ibunya, Ginela tidak akan hidup senyaman ini. Diam-diam ibunya meninggalkan tabungan untuknya. Keluarga besar tidak ada yang tahu soal tabungan itu jadi mereka menjauh karena tidak ingin direpotkan olehnya.

"Hei, kenapa melamun? Ayo duduk." Alaric mengusap punggung tangan Ginela.

Ginela kembali ke kenyataan, setelah sempat kembali bernostalgia dengan kenangan buruknya tentang keluarga.

One Night StandTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon