46

26.5K 2.2K 67
                                    

Melihat kantong dan calon bayi di layar, mata Ginela merebak merah. Jantungnya berdegup lebih keras. Seolah tidak nyata tapi ini benar-benar nyata. Senyumnya merekah saat Alaric menggenggam tangannya. Bahagia dan kenyamanan menjalar begitu saja.

Setelah melakukan konseling tetang kehamilan yang masih begitu muda, Ginela dan Alaric kembali ke kantor. Ginela masih membaca brosur kegiatan Mother Class yang akan dia ikuti bersama Alaric.

Melihat Ginela yang biasanya memasang wajah murung, rasanya ikut bahagia melihat Ginela dengan senyum yang tidak pernah hilang sejak tadi. Alaric pun meraih tangan Ginela dan menggenggamnya.

"Kenapa?" tanya Ginela, melirik Alaric.

"Apa memegang tangan istri harus ada alasan?" tanya Alaric dengan senyum manis yang mencurigakan.

"Kamu bilang kamu menikah karena dipaksa," sindir Ginela.

"Jangan membicarakan itu lagi. Aku tahu aku salah."

"Udah ingat?"

Alaric menoleh sekilas lalu menggeleng pelan. Dia juga ingin segera mengingat semuanya. Termasuk bagaimana dia bisa menikahi Ginela. Pasti ada alasan kuat dari sekadar ingin bertanggung jawab.

"Aku pasti akan mengingatnya. Mungkin Mother Class bisa membuatku kembali ingat."

"Maksudnya?"

"Bukankah ada kelas bersama suami?"

Ginela mengangguk.

"Aku pasti akan mengikutinya. Itu kesempatanku untuk intens bersamamu dan mengingat lagi kenangan kita."

"Baiklah."

Suasana hening sampai mereka tiba di kantor. Mereka berpisah menuju ruangan masing-masing. Ginela sudah tidak tahan untuk tidak tersenyum lebar saking bahagianya. Tapi dia berusaha menutupi dari Alaric.

"Apa ada berita yang menarik?" Tiba-tiba Dini muncul mengagetkan Ginela yang hendak menempelkan bokong pada singgasananya.

"Astaga, Dini! Lo mau gue jantungan?" seru Ginela yang urung duduk karena kaget.

Perempuan berambut pendek itu nyengir memperlihatkan giginya. "Sorry."

Ginela kembali duduk dan menyalakan komputer. Jantungnya sudah mulai kembali berdetak normal.

"Jadi?"

"Astaga, Dini. Kamu masih nungguin?" Ginela kembali kaget. Dini masih setia di depan meja menatapnya dengan mata yang mengerjap-ngerjap.

"Mau kopi?" tawar Dini.

Ginela menggeleng. "Mulai saat ini gue nggak minum kopi."

"Apa? Jadi Kak Ginela hamil?" seru Dini bahagia dan membuat seisi ruangan menoleh ke arah mereka.

Cengiran Ginela baru hilang setelah semua orang di ruangan memberinya selamat. Dia senang tapi juga malu. Kehamilannya masih seumur jagung.

***

Makanan sehat tersaji di meja ruangan Alaric. Aromanya begitu menggugah selera bagi orang normal. Tapi bagi Ginela, baunya sungguh membuatnya mual bukan main. Terutama Ca Pokcoy yang menyeruakkan bau bawang putih yang menyengat.

"Bisakah singkirkan itu?" Ginela menunjuk piring Ca Pokcoy dan benerapa makanan yang berbahan bawang putih menyisakan nasi putih, semur daging, dan buah-buahan potong. "Ruangan ini jadi bau bawang. Aku mual."

Alaric yang siaga segera menyingkirkan sumber mual Ginela dan menyemprot ruangan dengan pengharum. Tapi lagi-lagi Ginela justru semakin mual.

"Kenapa lagi?"

One Night StandWhere stories live. Discover now