5

101K 5.5K 187
                                    

Ginela masih syok di tempatnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ginela masih syok di tempatnya. Dia tidak menyentuh makanan sedikit pun sampai makanan itu dingin. Dia msih belum bisa berpikir apapun. Kakinya terus bergerak seperti sedang memakai mesin jahit manual.

"Mulai sekarang segala sesuatu yang kamu lakukan harus saya ketahui. Saya akan menyediakan apapun yang kamu butuhkan termasuk makanan sehat. Saya harus memastikan kamu cukup istirahat dan makan makanan sehat demi calon bayi yang sehat."

Ginela masih diam, menunduk kebingungan. Masih denial dengan keadaan saat ini. Rasanya tidak percaya. Kenapa berakhir seperti ini?

"Besok malam saya akan mengenalkanmu dengan orangtua saya," ucap Alaric lagi setelah jeda panjang.

"Hah? Buat apa?"

"Kamu mau hamil tanpa suami?"

Ginela rasanya ingin mati di tempat. Semakin sulit mencerna keadaan dan tidak mau menerima kenyataan.

"Kita harus segera menikah. Saya tidak mau kamu stres saat hamil karena gosip di luar. Saya juga tidak mau anak saya lahir tanpa nama saya."

Perkataan Alaric semakin membuatnya ketakutan. Baru kali ini dia merasakan ketakutan yang teramat sangat akibat pergaulan bebas. Biasanya akan berakhir menyenangkan bukan menegangkan ataupun mengerikan seperti ini. Hamil? Menikah? Hal yang sangat dia takutkan. Dia tidak mau memiliki status dengan siapapun.

"Saya nggak hamil, Pak." Ginela masih tidak mau mempercayai hal terburuk yang akan terjadi.

"Bukan nggak tapi belum pasti. Tapi saya tidak mau menyesal dengan membiarkanmu hidup sembarangan. Awal kehamilan itu tidak boleh disepelekan."

"Cukup!" Ginela menutup telinganya.

Ucapan Alaric sangat menakutinya. Bagaimana bisa Alaric begitu memahami soal kehamilan? Sementara dia sebagai wanita saja tidak paham.

"Maaf, Pak. Beri saya waktu."

"Nggak bisa. Waktu sekarang begitu berharga. Untuk saat ini ayo makan."

"Bagaimana saya bisa punya selera makan kalau begini?" Ginela frustasi.

"Nggak selerapun harus makan. Demi calon anak kita dan kamu tentunya."

"Pak, saya belum tentu hamil. Jangan bilang begitu saya takut."

"Takut kenapa? Saya akan bertanggung jawab sepenuhnya."

Ginela kembali meremas kepalanya. Dia sungguh tidak bisa berpikir jernih saat ini. Bagaimana jika dia benar-benar hamil? Apa yang harus dia lakukan?

Menikah dengan Alaric? Memikirkan untuk menikah saja belum pernah tapi sekarang dihadapkan dengan kata menikah dan hamil. Dengan bosnya pula. Dia bahkan hanya mengenal Alaric seperlunya. Dia bukan tipe pegawai wanita pemuja bos yang sering kepo atau mencari muka dengan bosnya yang terkenal muda dan tampan. Tapi kenapa nasibnya sesial ini?

***

Sepanjang hari Ginela tidak fokus bekerja bahkan saat rapat tim untuk merevisi proposalnya. Untuk bersikap profesional sangatlah sulit. Baru kali ini dia merasakan beban teramat berat. Hidupnya yang bebas jadi seolah terbatasi hanya karena satu kesalahan.

Hamil atau tidak dia akan segera menikah. Menikah? Dia tidak pernah mau membayangkan kehidupan pernikahan. Karena yang dia ingat tentang pernikahan hanya ada suara keras, kekerasan, dan pertengkaran diseparuh hidupnya, lalu berakhir dengan perpisahan. Ibunya tidak tahan dengan keadaan lalu sakit dan meninggalkannya selamanya. Meninggalkannya yang saat itu baru saja menyelesaikan kuliahnya. Sementara ayahnya juga meninggal dunia tidak lama setelah ibunya meninggal.

Traumanya tidak berakhir di situ. Saat memberanikan diri menjalin hubungan dengan seseorang dia juga pernah dikecewakan. Hal itu membuatnya semakin tidak percaya dengan suatu hubungan. Sendiri lebih baik.

Memiliki anak juga tidak pernah berani dia impikan. Apalagi anak yang tidak direncanakan. Dia tidak mau anaknya berakhir memiliki nasib sepertinya.

"Malam, Pak."

Ginela menoleh saat mendengar suara Alaric membalas sapaan teman-teman di ruangannya. Untuk apa pria itu ke sini? Dia melirik Zio yang sudah bersiap pulang. Ingin meminta bantuan tapi apa? Dia pun tidak tahu harus bersikap bagaimana.

"Ada yang bisa dibantu, Pak?"

"Tidak. Saya hanya menjemput Ginela."

Satu kalimat itu menggemparkan ruangan. Meski hanya ada kesunyian tapi Ginela yakin setelah dia pergi, ruangan itu akan berubah seperti pasar malam.

"Sudah siap pulang?"

Ginela mengangguk kaku dan menunduk. Tidak berani mengangkat wajah atau melihat ekspresi teman-temannya. Jawaban apa yang akan dia berikan ketika semua orang bertanya padanya? Dia belum memikirkannya dan tidak ingin memikirkannya. Kepalanya sudah penuh dengan kata nikah, hamil, dan anak.

"Ingin makan apa?"

"Saya langsung pulang saja."

"Nggak. Kamu harus makan dulu."

Ginela ingin sekali segera meringkuk di atas kasur. Mana ada nafsu makan saat ini. Diperhatikan seperti ini rasanya aneh dan risih.

"Bagaimana kalau makan pasta?"

"Pak, saya benar-benar ingin segera pulang dan istirahat."

"Baiklah. Kamu tinggal di mana?"

"Saya tinggal di apartemen Global, Pak."

Sepanjang perjalanan pulang hanya ada suara musik yang mengiringi. Ginela sibuk dengan pemikirannya sementara Alaric tidak tahu harus bicara apa karena sebelumnya mereka tidak dekat.

Alaric ikut turun dan mengikuti Ginela masuk ke dalam apartemen.

"Pak Aric ngapain?"

"Saya? Tentu saja saya ingin ikut, ingin tahu tempat tinggal kamu seperti apa."

"Buat apa, Pak? Pak Aric pulang aja." Kali ini nada suara Ginela sudah seperti rengekan saking stresnya diikuti Alaric terus.

"Saya harus memastikan tempat tinggal kamu aman dan nyaman. Kamu juga belum makan malam. Kamu harus makan malam. Tidak perlu diet yang penting sehat."

"Pak Aric itu dokter atau orangtua saya?"

"Saya calon suamimu dan calon papa anak kita."

Seketika bahu Ginela meluruh. Badannya lemas seperti tidak bertulang. Tidak bisa berkata-kata lagi. Kenapa dia harus bertemu pria seperti ini?

"Sepertinya kita perlu bicara lagi, Pak."

****

Happy weekend!
Makin penasaran nggak?
Tunggu Selasa tiba yaaaa...
Makasih banget pada antusias baca ONS 🥹🥹

One Night StandWhere stories live. Discover now