13

61.8K 3.7K 108
                                    

Ginela menengok sekali lagi. Memastikan tebakannya benar. Mereka berhenti di salah satu butik terkenal langganan para artis. Dia sangat tahu hal itu meski tidak pernah masuk.

"Pak, kita nggak jadi makan?"

"Kamu masih manggil saya, Pak?"

"Oh, ya, maaf, lupa."

"Kita ke sini dulu untuk memilih gaun pernikahan. Maaf ya karena kita dikejar waktu kamu jadi hanya bisa memilih gaun yang sudah ada."

Ginela mengangguk dan tersenyum tipis. Memilih gaun? Akhirnya dia memilih gaunnya sendiri, bukan seperti bayangannya tadi sore.

Ginela memilih beberapa gaun lalu mencoba yang paling menarik perhatiannya. Matanya merebak merah saat menatap dirinya di cermin dengan gaunya yang sangat cantik. Senang sekaligus takut menjadi satu. Sanggupkah dia bertahan dengan pernikahan yang mungkin akan berakhir seperti orangtuanya?

"Sudah, Kak," ucap pegawai yang sudah memastikan gaunnya terpakai dengan tepat. "Apakah nyaman?"

"Iya." Ginela mengangguk dan tersenyum. Dia juga mengerjap dan mengambil napas panjang agar tidak keluar air mata.

"Anda sangat cantik."

Ginela melirik nametag pegawai itu. "Makasih Laras."

"Sama-sama. Mari saya bantu keluar."

Ginela mencoba untuk tidak gugup. Ini hanya formalitas. Dia meyakinkan dirinya bahwa dia harus bisa berdiri dan bahagia seperti saat sendiri meski nanti kehidupan pernikahannya tidak berjalan baik.

Alaric tersenyum dan bangkit dari posisi duduknya, mendekati Ginela. "Bagaimana dengan gaun ini? Suka? Atau mau coba yang lain dulu?"

Alaric berusaha terlihat biasa saja padahal dia terpesona dengan perubahan Ginela yang memakai gaun pengantin. Gaun itu sangat pas di tubuh Ginela dengan potongan dada yang tidak terlalu rendah tapi memperlihatkan punggung mulus yang membuat wanita itu terlihat luar biasa di matanya. Ginela memang tidak pernah tidak membuatnya gila.

"Ini saja." Ginela tidak mau terlalu terbawa suasana. Lagipula dia sudah mencoba pilihan yang paling menarik baginya. Perutnya juga sudah lapar, ingin segera makan.

"Yakin?"

"Iya."

"Baiklah."

Tidak butuh waktu lama untuk mencoba baju. Alaric pikir akan butuh waktu lama dan melelahkan. Dia memperhatikan Ginela yang jadi diam dan memasang wajah kaku di dalam mobil.

"Kenapa?"

Ginela menggeleng lalu berusaha menarik sudut bibirnya.

"Ada yang kamu pikirkan?" Alaric mengusap kepala Ginela.

"Anda yakin menikah dengan saya?" Ginela menoleh menatap kedua mata Alaric yang dalam dan tajam.

"Tentu saja yakin. Saya mau jadi pria yang bertanggung jawab."

"Kalau saya nggak hamil, Anda akan rugi. Anda bisa mendapatkan orang yang sangat sangat lebih baik dari saya."

"Kenapa kembali ke masalah yang sudah terselesaikan?"

Ginela amat sangat tidak percaya diri. Dia tidak pernah memikirkan untuk memantaskan diri untuk orang lain karena dia tidak memiliki keinginan untuk menikah.

Namun, kini dia harus dihadapkan dengan keluarga terpandang. Tentu saja dia merasa kecil dan hina. Meski berusaha menepis berkali-kali tapi rasa itu selalu saja muncul. Apalagi jika ternyata dia tidak hamil. Apa Alaric akan tetap perhatian seperti ini?

"Saya rasa ini tidak benar. Sebelum terlambat mungkin Anda bisa pikirkan lagi."

Satu kecupan mendarat di bibir Ginela.

"Kamu sudah berkali-kali memanggil dengan sebutan Anda dan Pak."

Awalnya Ginela terdiam karena masih kaget. Kini dia membuka bibirnya lagi.

"Tolong dengarkan saya sekali ini. Saya punya kenangan buruk dengan pernikahan. Karena itu saya tidak ingin menikah. Hidup saya rumit sejak kecil dengan keluarga yang berantakan. Saya pernah mencoba memiliki hubungan berpikir tidak semua akan berakhir seperti orang tua saya. Tapi ternyata saya dikecewakan. Saya takut memulai suatu hubungan lagi apalagi ini pernikahan yang terpaksa dilakukan. Saya nggak mau punya kenangan buruk lagi. Karena itu saya tidak suka memiliki hubungan dengan pria apalagi menikah."

"Saya cukup bahagia hidup sendiri saat ini. Saya lebih suka pergi ke klub malam karena orang dugem nggak membahas pribadi orang lain. Mereka bodo amat. Saya nggak harus memikirkan kelayakan saya untuk orang lain. Ya ampun ini sangat tidak masuk akal, saya nikah dengan bos sendiri yang levelnya jauh di atas saya."

"Apa kamu memikirkan hal itu saat bersama pria lain?"

"Tentu saja nggak, karena kami nggak akan berhubungan lagi setelah itu. Dan seperti saya bilang, orang dugem itu nggak membahas pribadi orang lain."

"Anggap saja sekarang saya partnermu seperti yang lain. Kamu nggak perlu memikirkan apapun jadi kamu nggak akan kecewa."

"Soal keluarga, keluarga saya menerimamu. Bahkan sebenarnya mereka sangat bahagia," lanjut Alaric yang dari awal sudah menghandle keluarganya.

Alaric tersenyum mengingat betapa syok keluarganya saat dia meminta izin untuk menikah karena Ginela hamil. Dia yang selalu menolak dan mengacaukan kencan buta bisa menghamili wanita. Keluarganya tentu sangat bahagia.

"Mereka tahu saya dari keluarga yang berantakan? Selalu pergi ke klub malam?"

"Apa hal itu perlu mereka tahu? Bukankah kita harus menutup aib pasangan untuk kehidupan yang harmonis? Biarlah saya saja yang tahu kamu seperti apa. Saya yang akan membela kamu dari siapapun jika ada yang mengusikmu. Keluarga saya cukup tahu kamu adalah wanita pilihan saya."

"Lagipula kamu nggak akan mencari partner lain lagi di malam Minggu 'kan? Saya saja sudah cukup 'kan jadi partnermu setiap malam?"

Ginela menelan ludah dan mengangguk cepat. Ya, tentu saja dia tidak butuh orang lain.

"Kalau mereka tahu dari orang lain soal saya suka dugem bagaimana?"

"Mereka memang ingin mencari tahu soal kamu tapi saya sudah memberitahukan sendiri jadi mereka memahamimu. Terbukti mama sangat senang tahu kamu nggak pernah punya pacar."

"Saya pernah punya pacar."

"Anggap saja nggak pernah ada. Hanya ada saya, jangan ingat lagi dia." Suara Alaric mendadak tinggi tidak lagi sesabar tadi.

Refleks Ginela mengangguk karena kaget dengan perubahan suara Alaric.

"Sekarang masih ingin batal nikah?"

Ginela menggeleng cepat. Alaric menarik dagu Ginela dan menciumnya dalam hingga keduanya nyaris kehabisan napas. Mereka berhenti berciuman saat mendengar suara dari perut Ginela yang mulai lapar.

"Sebaiknya kita makan dulu."

"Ya, makan," ulang Ginela yang sudah tidak mampu berpikir. Di dalam otaknya hanya ada nafsu untuk membuka pakaian bosnya.

****

Happy Freeyay atau Friday, nih?
Jangan lupa klik bintang buat vote ya dan tinggalkan jejak komentarnya. Aku menantikannya. Makasih semua 😘😘

One Night StandWhere stories live. Discover now