26

36.4K 2.7K 52
                                    

Alaric menarik Ginela ke pelukannya saat mereka sudah masuk ke dalam kamar. Tangan Alaric berpindah ke pinggang Ginela. Mereka saling bertatapan. Meski masih sepenuhnya belum memahami Ginela tapi dia senang sudah sedikit mengetahui tentang Ginela secara personal bukan sekadar tulisan formal di kertas yang sudah dia baca.

"Jangan lagi pergi tanpa pesan." Alaric mengecup bibir Ginela. Kecupan yang sering dia lakukan karena ketagihan. Meski hanya kecupan tapi hal itu membuatnya merasa memiliki dan dimiliki. Apalagi saat Ginela membalas kecupannya.

"Aku kirim pesan."

"Pesan ambigu? Itu justru membuatku semakin khawatir. Kamu mengerti?" Alaric menyentil hidung ginela.

"Maaf." Ginela menunduk.

"Janji jangan melakukan hal seperti ini lagi!" Alaric menarik dagu Ginela agar kembali menatapnya.

"Iya."

"Pakai daster pun kamu membuatku bergairah," bisik Alaric lalu menggigit lembut telinga Ginela, menggoda.

"Tapi nggak bisa malam ini," ucap Ginela seraya mendorong Alaric.

"Aku tahu. Tapi haruskah kita tidur berjauhan hanya karena kamu menstruasi? Jangan menyiksa suamimu ini."

Ginela terdiam lalu memeluk Alaric erat. "Apa kamu kecewa?"

"Tentu saja. Siapa yang nggak kecewa harus tidur sendiri? Untung saja aku datang ke sini. Kalau nggak, aku bisa nggak tidur semalaman karena khawatir."

"Maksudku karena aku nggak hamil."

"Kecewa pasti ada karena aku punya harapan. Tapi it's ok, harapan itu bukannya pupus tapi hanya tertunda jadi bukan masalah besar. Jangan dipikirkan lagi."

"Keluargamu?"

"Aku yakin mereka nggak akan mempermasalahkan. Aku akhirnya menikah saja mereka sudah bersyukur."

Ginela mendengkus. "Tapi kamu menikah denganku. Apa yang patut disyukuri?"

"Punya istri cantik patut disyukuri meskipun nggak bisa masak."

Ginela langsung mencubit perut Alaric. "Nggak lucu."

"Aku bahagia. Apa yang mau diharapkan orangtuaku selain itu?"

"Istri yang kaya?"

"Apa aku kurang kaya sampai harus punya istri kaya?"

"Setidaknya selevel jadi keluargamu nggak akan malu."

"Berarti beruntunglah kamu karena keluargaku nggak malu memilikimu. Orangtuaku justru malu kalau aku itu gay."

"Apa kamu separah itu sampai dibilang gay?"

"Entahlah. Tanyakan pada Mama, Mama yang paling takut anak laki satu-satunya bercumbu dengan pria."

"Memang kamu pernah bercumbu dengan pria?" Ginela sedikit kaget sampai bertanya seperti itu. Keningnya berkerut berharap jawaban Alaric adalah tidak.

"Menurutmu?" Sebelah alis Alaric naik, menggoda Ginela.

"Ih, nggak lucu! Jangan bercanda. Membayangkannya saja aku merinding. Kamu bermanja-manja pada Leo. Ih...." Ginela menepuk-nepuk pipinya sendiri.

Alaric terbahak sampai perutnya sakit melihat reaksi Ginela. "Aku hanya pernah bercumbu denganmu, tenang saja. Karena itu aku minta pertanggungjawabanmu. Bayangkan saja, semua yang aku jaga kamu nikmati lalu pergi begitu saja. Enak saja!"

"Ck, ungkit saja itu terus."

"Sebenarnya aku takut. Takut kamu mengabaikanku lalu minta bercerai karena ternyata aku nggak hamil. Nggak ada lagi yang kamu harapkan dariku," lanjut Ginela.

One Night StandWhere stories live. Discover now