14

58.4K 3.6K 99
                                    

Alaric bersyukur diselamatkan oleh suara perut Ginela. Jika tidak, dia mungkin akan melewati batas padahal mereka masih di dalam mobil di parkiran butik. Kepalanya kosong jika sudah mencium Ginela.

Entah mantra apa yang wanita itu pakai tapi Ginela mudah membuatnya terbuai. Saat di kantor penampilan Ginela sangat biasa jauh dari kesan seksi tapi tetap saja terlihat seksi di matanya. Apalagi saat memakai gaun pengantin, dia nyaris tidak bisa mengendalikan ekspresinya saat melihat tadi.

"Ayo, kita cari makan dulu."

"Ya," sahut Ginela singkat, dia masih mengatur napasnya.

Makan adalah segalanya. Selain sebagai bahan obrolan selama ini bersama Alaric, makan juga penyelamat kewarasan. Ginela sadar selama ini yang dibahas bersama Alaric adalah sebatas makan dan nikah.

Memang tidak ada yang Ginela harapkan selain itu. Hanya saja dia merasa lucu. Selama ini dia makan hanya untuk mencegah asam lambung naik. Apa saja dia makan yang penting tidak telat dan perut terisi tanpa banyak memilih apakah makanan itu sehat atau tidak. Tapi kini setiap mau makan dia harus berpikir. Apa yang seharusnya dia makan dan Alaric menyetujuinya.

Beberapa hari bersama Alaric, dia takjub dengan bervariasinya makanan setiap akan makan.

Mereka sampai di sebuah restoran tidak jauh dari butik. Mereka memasuki restoran serba hitam yang tidak banyak interior tetapi terlihat mewah dan elegan hanya karena permainan warna hitam dan gold.

Ginela yang jarang pergi ke restoran mahal menyapukan pandangan. Buat apa makan di sini? Dia bukan penggemar makan makanan mahal. Dia lebih suka menghabiskan uangnya untuk jalan-jalan dan mencoba hotel-hotel mewah di Jakarta.

"Kamu makan apa?" tanya Alaric setelah mereka duduk dan membuka buku menu.

Ginela membolak-balikkan buku menu. Tidak ada yang menarik, semua terasa sama di matanya. "Apa sajalah. Saya ngikut saja."

"Di sini nggak ada makanan kesukaanmu? Dari kemarin saya bingung mencari tempat makan karena saya nggak tahu makanan kesukannmu."

"Saya nggak punya makanan kesukaan. Apa saja saya suka."

Alaric menaikkan sebelah alisnya.

"Beneran. Saya apa aja mau. Saya bukan tipe orang yang punya kesukaan atau hal yang spesial. Saya belajar dari pengalaman, sesuatu yang paling disuka atau spesial itu paling berpotensi membuat masalah dan kecewa."

Ginela jadi ingat, karena mengagungkan undian liburan, dia berakhir seperti sekarang. Padahal dia sudah menghindari hal-hal istimewa. Tapi iming-iming hadiah liburan membuatnya menaruh harapan dan menspesialkan undian itu sampai dia tiap hari membeli minuman yang sama. Kelemahannya ada di liburan. Satu-satunya hal yang dia suka dan kini membawa petaka.

"Beneran kamu nggak ada yang paling disuka?"

"Nggak ada. Semua makanan di mata saya sama."

"Baiklah. Saya yang pesankan ya?"

Ginela mengangguk. Makanan apapun akan dia makan meski tidak enak daripada kelaparan. Lagipula makanan di tempat mewah tidak mungkin tidak enak bukan? Makanan lesehan yang rasanya hambar saja dia bisa habiskan.

***

Nara terus menghubunginya tapi Ginela juga tidak pantang menyerah menolak. Nara terus bersikeras akan ke apartemennya. Dia tidak tahu harus memulai cerita dari mana untuk memberitahu Nara. Apalagi sekarang dia tinggal di rumah Alaric. Dia sudah seperti di penjara bagaimana caranya bertemu Nara?

"Ada masalah?" tanya Alaric yang melihat Ginela duduk di sofa menggigit kuku.

"Ah, nggak ada."

"Saya ke ruang kerja."

One Night StandWhere stories live. Discover now