24

37K 2.6K 29
                                    

Kegiatan di sofa memang yang terbaik. Sempit tapi memberi sensai yang menegangkan. Ginela sudah menanggalkan kaos oversizenya, menyisakan pakaian dalam berwarna hitam menggoda. Sementara dada bidang Alaric sudah terekspos sejak tadi.

Ciuman-ciuman kecil menjalarkan sensasi menjalar di sekujur tubuh. Membuat keduanya mengerang diserbu ciuman dan kecupan panas.

Menjelajah tubuh pasangan tidak ada bosannya. Ginela memejamkan matanya saat Alaric menciumi leher dan tulang selangkanya. Kemudian bibir mereka menyatu menjadi ciuman penuh hasrat dan tidak terkontrol. Saling membuka mulut dan berciuman dengan kasar.

Alaric mengubah posisi jadi Ginela yang di bawah. Dia menyeringai. "Kali ini aku yang memimpin. Kamu nikmatilah."

"Siap, Komandan!"

Alaric mendorong Ginela sehingga wanita itu memunggunginya. Dia mengecup perlahan-lahan punggung mulus wanitanya dengan mata tertutup. Aroma Ginela membuat jiwa liarnya mengendalikannya.

Tidak ada lagi kata lembut. Alaric semakin kuat dan mempercepat ritme bercintanya. Sementara Ginela memekik dan meneriakkan nama Alaric berkali-kali. Umpatan dan panggilan Ginela semakin membuatnya bereaksi untuk lebih keras.

Tidak ada yang lebih nikmat dari kegiatan bercinta dengan gairah yang menggebu di dunia. Keduanya tersenyum puas, diakhiri kecupan dan pelukan hangat. Keringat membanjiri tubuh mereka.

"Aku ngantuk." Napas Ginela terengah dan suaranya sangat pelan tidak seperti saat mereka bergelut.

"Aku gendong."

Dengan mudahnya Alaric mengangkat Ginela dan membawa wanita itu ke kamar. "Haruskah kita lanjutkan di sini?" Lagi-lagi Alaric menyeringai.

"Masih bertanya?" Ginela mengedipkan mata.

****

Ginela terduduk di kamar mandi dengan mata sembab. Bangun tidur perutnya sangat sakit, ternyata dia menstruasi. Tidak hamil, tidak ada anak, dan dia lega sekaligus sangat kecewa mengetahui kenyataan ini. Bagaimana dengan Alaric?

Ginela ketakutan, menggigit kukunya, air matanya terus saja keluar tanpa bisa dicegah. Harapan memang paling bisa membuatnya jatuh dan tersakiti. Perasaannya campur aduk antara lega dan takut. Lega dia tidak hamil karena takut dia akan seperti ayahnya yang hanya bisa menyakitinya. Di sisi lain dia juga takut ternyata akhirnya dia tidak hamil dan mengecewakan banyak orang.

Ketukan pintu dan panggilan Alaric terus menerus diabaikan. Ginela bangkit, membasuh wajahnya berulang kali. Mengambil napas panjang dan mengembuskan perlahan. Dia memastikan kondisi wajahnya di cermin.

Setelah memastikan wajahnya sudah lebih baik, meski matanya tidak bisa membohongi siapa pun bahwa dia baru saja menangis, Ginela membuka pintunya.

"Kamu kenapa? Kenapa menangis?"

Ginela hanya menggeleng, melewati Alaric.

"Gin." Alaric meraih bahu Ginela.

"Nggak pa-pa, aku mau bikin kopi. Kamu mau?"

"Ya."

Alaric mengikuti dari belakang terus memperhatikan Ginela yang berubah drastis. Padahal semalam mereka masih baik-baik saja.

"Gin."

"Ya?"

"Kamu kenapa?" Alaric memeluk Ginela dari belakang, menyandakan dagunya di bahu istrinya.

"Nggak pa-pa, aku hanya terbentur dinding. Sakit sekali." Ginela mengusap sikunya, berbohong.

"Mana? Masih sakit?" Alaric memutar tubuh Ginela jadi menghadapnya.

One Night StandWhere stories live. Discover now