35

30.4K 1.9K 15
                                    

Ginela melempar tasnya ke sofa, melirik ke dapur dan merasa lega melihat dapurnya sudah bersih kembali. Haruskah dia masak lagi dan memporak-porandakan dapurnya lagi? Ginela geli sendiri dengan kelakuannya. Memasak memang bukan keahliannya. Lebih baik dia diam dan beli saja.

Ginela mengambil air putih dingin dari kulkas dan menghabiskannya dalam sekejap. Ya, dia haus setelah berjalan kaki dari kantor ke apartemennya. Alaric masih sibuk jadi dia pulang sendiri kali ini. Karena itu dia bisa melempar tas sesuka hati.

Ginela berdiri di depan jendela, melihat gedung-gedung yang tidak kalah tinggi dari tempatnya berdiri. Lampu-lampu sudah menyala terang. Malam yang terlihat meriah meski dia sendirian.

Kehidupan ini tidak pernah ada di benaknya. Mimpi pun dia tidak berani. Siapa yang mengira dia bisa tinggal di apartemen mewah dengan suami yang sangat menawan. Tidak hanya paras tapi juga menawan hatinya.

Bibir Ginela kembali tersenyum mengingat saat Alaric mengatakan perasaan. Hanya mengingat  saja bisa membuatnya lupa diri saking bahagianya. Sudah sangat lama dia tidak merasakan perasaan seperti sekarang. Ginela senang sekaligus malu, malu pada diri sendiri yang menggelikan seperti remaja yang baru saja merasakan cinta.

Ginela bergegas mandi sebelum Alaric pulang. Dia tidak mau mendengar ceramah Alaric karena dia tidak langsung membersihkan diri. Pria yang cinta kebersihan dan kerapian itu terkadang menyebalkan. Untung saja itu Alaric, jadi dia masih bisa menerimanya.

Sungguh tidak mengenakan tidak bisa bermalas-malasan sejenak setelah pulang kerja. Setelah mandi dia tidak bisa bersantai karena rasa segar membuatnya terjaga dan jauh dari kata mengantuk.

Alaric datang saat Ginela tengah mengeringkan rambutnya jadi wanita itu tidak mendengar panggilannya.

"Gin."

"Ya?"

"Kamu di mana?"

"Aku di sini."

Ginela keluar kamar mandi dan mendapati Alaric sudah di dalam kamar. Pria itu langsung memeluk Ginela.

"Ada apa?"

"Haruskah ada apa-apa baru boleh memeluk istriku?"

"Bukan itu maksudku."

"Kamu wangi sekali." Alaric menghirup aroma Ginela dalam-dalam.

"Tentu saja, aku 'kan baru mandi."

"Mandi lagi bagaimana?" Alaric menyeringai tapi tidak mendapat sambutan baik.

"Aku sudah mandi terlalu lama karena tadi berendam. Lihatlah, tanganku sudah keriput."

Alaric langsung memasang wajah sedih dan berharap.

"Mandilah sendiri, aku tunggu di ruang kerja."

"Baiklah. Ruang kerja sepertinya menarik."

Ginela mengerutkan kening dan tersenyum geli. Pikirannya dan pikiran Alaric tentu saja sangat berbeda. Dia menunggu Alaric di ruang kerja karena ingin membahas pekerjaan. Dia ingin meminta pendapat soal proyek yang tengah dia kerjakan. Tidak sepenuhnya bekerja di rumah tapi hanya ingin meminta pendapat.

Jika dia membahas pekerjaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan Alaric langsung, sangat tidak profesional jika ditanyakan saat di kantor. Bukankah itu akan mengganggu pekerjaan utama Alaric?

Meski pemikiran mereka berbeda tapi Ginela tetap menunggu Alaric di ruang kerja. Dia senyum-senyum sendiri memikirkan apa yang diinginkan Alaric. Dia juga sebenarnya menginginkannya.

Ginela tersenyum lebar setengah menahan tawa saat melihat Alaric masuk ke ruang kerja hanya memakai handuk yang menutupi tubuh bagian bawah.

"Kamu sedang melihat apa?"

One Night StandWhere stories live. Discover now