4

102K 6K 207
                                    

Kaki Ginela terasa berat sekali untuk melangkah masuk. Padahal dia sudah membuka pintu ruangan Alaric. Jantungnya sudah berdetak lebih cepat berkali-kali lipat.

Saat semakin dekat, matanya melebar, dan refleks memegang leher. Kalung miliknya hilang, kenapa dia baru menyadarinya? Kenapa kalungnya ada di tangan Alaric? Ginela pasrah kali ini.

"Silakan duduk." Alaric memasukkan kalung berliontin bintang ke dalam kotak.

"Terima kasih, Pak."

Ginela tidak berani melihat bosnya, dia menunduk memainkan kuku jarinya.

"Desain ini kamu yang buat?" Alaric menggeser macbooknya.

"Iya, Pak. Saya ketua tim A."

"Apa maksud dari potongan ini?" Alaric menunjuk gambar seorang pria bertudung berdiri sendiri.

"Untuk desain kecap kali ini saya mengusung tema prosenya, Pak. Jadi biar konsumen memahami produk ini dibuat melalui beberapa proses hingga menjadi kecap istimewa."

"Kamu sudah melihat langsung prosesnya sampai berani membuat desain seperti ini?"

Nada suara Alaric begitu tegas sampai Ginela kaget dan menatap bosnya. Dia mengangguk cepat.

"Kalau kamu sudah melihat langsung seharusnya tidak seperti ini. Semua proses pembuatannya dari hati seperti keluarga. Dibuka lagi arsip-arsip yang kamu ambil saat kunjungan."

"Baik, Pak."

"Serahkan revisinya besok pagi. Mulai sekarang proyek itu laporkan langsung pada saya."

"Baik, Pak," jawab Ginela meski sebenarnya dia bingung. Kenapa harus laporan langsung pada Alaric, tidak melalui manajer pemasaran dulu?

"Istirahat siang temui saya lagi."

"Baik, Pak. Masih ada lagi?"

"Nggak ada. Kamu boleh keluar."

Ginela bernepas lega saat keluar ruangan Alaric. Masuk ke ruangan direktur pemasaran yang memang terkenal kejam saat bekerja meski ramah saat di luar adalah hal baru baginya. Biasanya dia hanya berurusan dengan manajer pemasaran Pak Burhan.

"Gimana?" tanya Mia, sekretaris Alaric.

"Nggak pa-pa cuma suruh revisi. Cuma gue heran, kenapa langsung Pak Aric yang ngecek bukan Pak Burhan. Kaget gue tahu-tahu dipanggil Pak Aric."

"Nggak tahu, tadi pagi Pak Burhan udah ngadep Pak Bos duluan."

"Ya udah gue balik ruangan gue dulu. Gue mau konfirmasi juga ke Pak Burhan, takut salah langkah."

Ginela ke ruangan manajer pemasaran sebelum kembali ke ruangannya, menemui Pak Burhan. Dia menanyakan perihal laporan rancangan iklan kecap.

"Pak, ini nggak pa-pa saya langsung lapor Pak Aric nggak lewat bapak dulu?"

"Iya nggak pa-pa. Beliau yang minta, saya nurut aja. Nanti kalau ada yang ingin didiskusikan soal proyek ini boleh tanya saya. Tapi laporan tetap langsung ke Pak Aric."

"Baik, Pak, kalau begitu. Saya permisi."

Ginela merasa was-was, dia khawatir pikiran buruknya terjadi bahwa Alaric mengenalinya. Dia gelisah sekembalinya dari sana.

Baru kali ini dia tidak menantikan jam istirahat siang. Biasanya masih kurang 15 menit saja rasanya seperti berabad-abad karena sangat dinanti. Kini waktu berjalan seolah sangat cepat. Tiba-tiba sudah pukul 11 siang aja. Sejam lagi istirahat tapi Ginela tidak nafsu makan, sibuk dengan pemikirannya.

"Minum obat magh dulu. Biar nggak kena asam lambung," ucap Zio seraya memberikan sebutir obat magh.

"Sialan lo!"

One Night StandWhere stories live. Discover now