48

27.9K 2.1K 29
                                    

Tempat paling membuat tenang, nyaman memang rumah jika isinya juga mendukung. Alaric memejamkan matanya, berbaring di atas sofa panjang. Telinganya mendengarkan musik yang istrinya nyalakan. Ya, Ginela menyuruhnya rileks mendengarkan musik sembari berbaring, sementara Ginela menyiapkan makanan di dapur.

Ketenangan itu tidak berlangsung lama, suara-suara kaca saling membentur dan merusak ritme musik. Alaric bangkit memeriksa dapur. Betapa kagetnya dia mendapati dapur sangat berantakan. Dia merasa dejavu dengan situasi ini.

"Apa yang kamu lakukan? Menghancurkan dapur?" Alaric menyapukan pandangan dan mendekati Ginela. "Apa kamu terluka?"

Ginela yang bermandikan tepung meringis. Dia tidak sengaja menyenggol mangkok berisi tepung, sehingga mengotori dapur dan dirinya.

"Aku baik-baik saja tapi sepertinya aku gagal membuat pisang goreng. Ternyata nggak semudah youtube."

"Pisang goreng?" Alaric kembali melongo melihat dapurnya seperti habis perang tapi istrinya hanya akan membuat pisang goreng.

"Kemarilah. Kamu bisa meledakkan dapur jika begini." Alaric menarik Ginela menjauhi dapur. "Kita beli saja jika kamu ingin pisang goreng."

"Tapi aku ingin pisang goreng yang pakai topping tapi tepungnya tepung goreng biasa bukan yang krispi seperti yang dijual-jual."

"Pisang biasa itu yang seperti apa?"

"Pisang goreng biasa yang kayak dijual di tukang gorengan. Tapi aku maunya kukasih topping."

"Apa harus membuat sendiri? Nggak bisa beli aja?"

"Aku maunya yang bikinan sendiri biar hangat."

"Kita bisa beli dan makan di sana jadi hangat."

"Toppingnya gimana?"

"Haruskah aku yang goreng?"

"Ah, itu ide cemerlang. Pasti rasanya lebih enak. Anak kita akan suka."

Diberi kata-kata begitu, Alaric langsung bergegas mendekat mengambil alih pengaduk di tangan Ginela. "Biar aku yang buat."

Senyum Ginela merekah, dia memakaikan celemek berwarna monokrom pada suaminya. Aroma Alaric sungguh memabukkan, Ginela sempat memejamkan mata menikmati wangi itu.

"Menikmatinya?" tanya Alaric dengan senyum nakal. Dia menatap mata Ginela yang mendambanya. Menangkup wajah mungil dan mengecup bibir merah yang terus menggoda penglihatannya.

"Apa ciuman ini bisa menggantikan pisang goreng?" tanya Alaric di sela-sela ciuman mereka. Dia butuh mengambil napas karena ciuman panjang itu.

Tidak ada jawaban hanya bibir lembut Ginela yang menempel dan memberikan sensasi yang tidak bisa ditahan. Keduanya tidak bisa lagi menahan gairah hingga dapur yang berantakan pun bisa serasa surga.

Saat mereka nyaris melakukan hubungan, Alaric sadar itu tidak boleh dilakukan untuk saat ini. Dia memeluk Ginela erat. Sementara Ginela kaget semua terhenti tiba-tiba di tengah jalan.

"Maaf," ucap Alaric dengan suara berat dan napas memburu. "Pakai lagi bajunya." Alaric mengambil pakaian Ginela.

"Kenapa?" Mata Ginela merebak merah, kecewa.

"Maaf aku nggak mau anak kita kenapa-kenapa. Haruskah kita konsultasi dulu untuk masalah ini?"

Tangis Ginela berubah jadi tawa. Dia mengangguk membenarkan ucapan suaminya. Dia tidak boleh terbawa nafsu untuk saat ini. Ada buah hati mereka yang perlu dijaga.

"Kita ke dokter besok untuk konsultasi."

"Kenapa nggak ditelepon saja?" Ginela memberi ide.

"Jangan. Lebih baik kita bertatap muka dan berkonsuktasi bersama. Kamu juga berhak berkonsultasi jadi kita bisa saling memahami."

One Night StandWhere stories live. Discover now