51 (END)

60.8K 2.1K 77
                                    

Kehamilan Ginela menginjak bulan ketujuh. Hari-hari mereka di isi dengan komunikasi yang baik dan menghabiskan waktu bersama di saat weekend. Quality time bersama Alaric setiap weekend membangun mood-nya menyambut Senin dan setumpuk pekerjaan. Kegiatan monoton akan kembali dilakukan. Membosankan tapi sesuatu yang monoton itu akan dirindukan jika jadi pengangguran.

Ginela selalu bekerja dengan giat meski perutnya semakin besar karena tidak ingin jadi pengangguran.

Saat ini pun pekerjaan masih jadi yang utama. Dia tidak mau menggantungkan diri hanya pada Alaric, meski dia kini bergelimang harta -harta milik suaminya. Dia masih tidak berani untuk menghak milik kekayaan Alaric.

Memghabiskan waktu bersama pasangan memang cara terbaik merubah suasana hati. Pekerjaan pun jadi berjalan dengan baik meski banyak tekanan. Ginela tersenyum puas untuk hari ini. Dia mengusap perutnya yang sudah mulai terlihat besar.

Dia bangkit saat sudut matanya melihat sosok suaminya di ambang pintu.

"Dila, gue pulang duluan ya?"

"Ok, Kak. Gue juga bentar lagi kelar."

"Lo lagi ngerjain apa, sih?"

Dini menyandarkan punggungnya ke kursi dan menoleh. "Pekerjaan yang seharusnya dikerjain Pak Burhan." Dini memasang wajah memelas dengan lingkaran hitam di bawah mata.

"Lagi?"

"Karena Kak Gin udah nggak bisa diperdaya jadi sekarang gue korbannya."

Ginela nyengir. "Semangat, deh, kalau gitu."

"Bilangin Pak Aric, dong, Kak. Biar Pak Burhan nggak semena-mena. Yang dapet pujian siapa, yang lelah siapa?"

"Nikmatin prosesnya." Ginela menepuk bahu Dini.

Bahu Dini melorot seketika. Beginilah nasib pegawai muda. Selalu saja jadi bahan penindasan pekerjaan. Di mana pun selalu saja ada pemimpin modelan Pak Burhan. Dila hanya bisa gigit jari dan menerima nasib.

Ginela pun terkekeh lalu ke arah pintu di mana Alaric sudah menunggunya. Tanpa dia bilang, suaminya pun sudah mendengarnya. Karena itu Ginela meledek Dila dengan meminta perempuan muda itu untuk menikmati.

"Kenapa kamu nggak pernah cerita soal Pak Burhan?" tanya Alaric langsung saat Ginela mengapit tangannya.

"Memang remahan kerupuk bisa bersuara?"

"Kamu 'kan istriku."

"Oh, ya, lupa. Aku sekarang istri direksi."

"Hei, aku serius!"

"Iya, iya. Ya udah sekarang aku mau curhat. Dulu aku sering diperdaya mengerjakan banyak hal sama bawahanmu itu. Tapi karena aku hanya karyawan kecil apalah dayaku jadi ya kuanggap aja nambah ilmu. Beneran ilmuku nambah jadi kupikir nggak masalah. Tapi setelah melihat wujut Dila akhir-akhir ini aku juga kasihan. Jadi, suamiku tersayang, bisakah kamu menyelesaikan masalah ini dengan manis?" Ginela yang menyandarkan kepala di bahu Alaric mengerjapkan matanya berulang kali seperti boneka.

Alaric menyentil hidung Ginela. "Mau itu menambah ilmu tetap saja itu nggak boleh dilakukan seorang atasan. Tenang saja, aku akan menyelesaikannya tanpa melibatkan kalian."

"Terima kasih, Sayang," bisik Ginela di telinga Alaric.

"Jangan menggodaku di dalam lift."

"Ok, Bos!"

Betapa kagetnya mereka berdua saat lift terbuka, Nara sudah menghadang dengan tatapan ingin memangsa Ginela. Alaric pun langsung pasang badan saat keluar dari lift.

One Night StandWhere stories live. Discover now