30

35.1K 2.5K 31
                                    

Ginela membuka amplop coklat tanpa nama di mejanya. Dia melihat ke sekeliling, semua tengah sibuk dengan layar komputer. Dia pun memeriksa isinya. Matanya melebar saat melihat lembaran foto-fotonya bersama Rolan dulu.

Siapa yang mengirimnya? Rolankah? Rolan menjadi pelaku utama yang terlintas di otaknya.

Tangan Ginela meremas foto-foto itu. Tidak ada yang menggetarkan hatinya lagi meski melihat fotonya saat bersama Rolan. Perasaannya untuk pria itu sudah mati.

Rahang Ginela mengeras. Ingin langsung marah kepada Rolan tapi dia tidak mau membuat keributan lalu semua orang kantor tahu masa lalunya dan mengganggu pekerjaan. Dia tidak mau menyusahkan Alaric juga.

Ginela membuang semua foto itu ke dalam tempat sampah di samping kakinya. Menyebalkan sekali hari ini. Hilang satu masalah datang lagi yang lain. Menambah beban pikiran saja.

Ginela menyibukkan diri demi menghilangkan pikiran tentang Rolan dan kelakuan pria itu. Rasanya lega saat melihat jam sudah menunjukkan waktu pulang kerja. Orang-orang sudah mulai berbenah untuk pulang. Dia pun mematikkan komputer dan ingin segera pulang.

Langkahnya lebar keluar ruangan setelah mnegirim pesan pada Alaric bahwa dia akan menemui Moci. Dia akan menunggu Alaric bersama Moci. Dia rindu curhat pada kucing liar itu.

Ginela tersenyum lebar ingin menghampiri Moci tapi langkahnya mendadak terhenti saat melihat Rolan jongkok mengusap kepala Moci. Kenapa pria itu di sana?

Ginela benci melihatnya, mengingatkannya pada kenangan bersama Rolan. Dulu dia dan Rolan sering memberi makan kucing liar. Itu adalah kebiasaan Ginela karena merasa senasib dengan kucing liar. Memiliki orang tua tapi bertahan hidup sendiri.

Ginela tertawa miris sendiri. Sepertinya Tuhan belum memberinya anak karena memang hatinya belum siap. Dia masih terbayang tentang orang-orang yang tidak pernah menyayanginya. Mendeskripsikan dirinya yang hanya hidup sendiri. Yang dia ingat hanyalah kenangan buruk.

Jangan-jangan dia akan menjadi orang tua yang tidak beda dengan orangtuanya karena dia lebih banyak menyimpan kenangan buruk daripada kenangan tentang menyayangi dan disayangi.

Ginela mengurungkan niatnya bertemu Moci. Melihat Rolan bersama Moci hanya membuatnya kembali ke titik awal ketidakpercayaandirinya. Ginela memutar badan, dia akhirnya jalan kaki menuju apartemen. Tidak lupa memgirimkan pesan pada Alaric agar pria itu tidak mencemaskannya.

***

Alaric buru-buru pulang setelah menyelesaikan pekerjaan. Dia masuk ke apartemen tanpa memberi salam. Dia langsung mencari Ginela yang tidak menyahuti panggilannya.

"Ginela. Kamu di mana?" Alaric membuka pintu kamar dan tersenyum lega. Ternyata Ginela tengah memilih pakaian.

Alaric langsung memeluk istrinya dari belakang dan memberikan ciuman di puncak kepala Ginela.

"Ada apa?" tanya Ginela, bingung, tiba-tiba Alaric memeluknya.

"Kenapa kamu pulang sendiri?"

"Nggak kenapa-kenapa. Moci nggak ada jadi aku langsung pulang."

"Jangan membuatku khawatir."

"Aku hanya pulang apa yang dikhawatirkan?"

"Aku takut kamu kabur lagi."

"Astaga. Memang aku mau kabur ke mana lagi. Semua tempat yang bisa aku kunjungi kamu sudah tahu."

"Entahlah. Mungkin aku trauma."

Refleks Ginela tertawa. "Kamu berlebihan. Cepat sana mandi. Aku ingin bicara sesuatu."

"Tuh, kan, mau mengajak bicara pasti ada yang nggak beres. Bicara sekarang saja daripada aku nggak konsentrasi saat mandi."

One Night StandWhere stories live. Discover now