"Kenapa mendadak sekali mau tinggal di Danurejan? Sendirian lagi."
"Tidak mendadak dan tidak sendiri, Mas. Ada abdi dalem kok."
"Iya kenapa?"
Gerakan tangan Kiko memeriksa bentangan kertas berukuran satu kali dua meter di depannya terhenti. "Yang ini ya Pak." Kiko tersenyum ke arah pegawai toko peralatan kantor langganannya. Pria itu mengangguk dan dengan cekatan menggulung kertas yang diulurkan Kiko. Kiko beringsut dan menatap Ilman yang mengikutinya.
"Tidak ada alasan khusus, Mas. Setelah proyek yang kemarin, aku ada proyek lagi yang lebih besar dan akan makan waktu yang cukup lama. Terlalu jauh kalau aku pulang ke rumah Kaliurang. Jadi, ini dalam rangka mengirit energi."
"Alhamdulillah tambah laris."
"Huum." Kiko memajukan bibirnya membuat Ilman tertawa pelan dan memalingkan wajahnya.
"Tidak mau membuka kantor sendiri?"
"Tidak." Kiko menjawab sangat cepat.
"Kenapa?"
"Mau belajar dulu banyak-banyak dari bapak. Sekarang mengambil proyek yang kecil-kecil dulu dan nanti setelah pintar baru ambil yang agak besar."
"Huum. Begitu juga baik."
"Mas Ilman bagaimana?"
"Mas berusaha sibuk."
Mereka tertawa. Ilman beringsut ke belakang Kiko ketika dua orang pria dengan perawakan yang cukup besar melewati mereka. Mereka berdiam diri sejenak sebelum Ilman beringsut lagi ke samping Kiko dan mereka menekuni beberapa jenis pensil mekanik.
"Tapi masih sempat kan bantu aku, Mas?"
"Masih. Tapi kenapa tidak minta Mas Ankaa buat bantu..."
"Dia sibuk."
"Sudah bilang memangnya?"
"Kan biasanya juga bertahun-tahun tidak pernah bilang ke dia kalau ada apa-apa." Kiko menjawab tak acuh dan mengambil dua kotak pensil mekanik dengan merek yang sama.
YOU ARE READING
PINK IN MY BLUE
Romance"Heh cewek sipit, medhok..." "Hisssh...jauh-jauh..." "Nama kok seperti es jeli." "Hiish...saya sumpahin Mas naksir!" "Aku? Naksir kamu?" "Iya." "Bilang R dulu yang benar baru nanti ditaksir. Hahaha..." "Mas Ankaa jeleeeeeek..."