Bab 126. Ekstra Part ⁷

4.7K 603 131
                                    

"Kita terlalu baik padanya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Kita terlalu baik padanya."

Kiko menunduk menekuni ujung kakinya dan mendengarkan nada pasrah dari kalimat yang keluar dari mulut ibunya.

"Itu yang bisa dan memang seharusnya kita lakukan, Dek. Ini konsekuensi yang harus kita terima. Kan kita juga tidak mungkin menjadi orang jahat."

"Iya, Mas. Orang sabar pasti banyak kesalnya. Lalu bagaimana ini?"

"Kita tunggu keputusan Ilman. Kegilaan yang Kinanti minta itu sebenarnya memang hak nya. Dia anak Sanusi Baco dan dia memiliki hak untuk mengurusnya."

"Mas paling tahu mengurus seperti apa? Bukankah justru berbahaya kalau dia yang mengurus bapaknya? Apa yang akan dilakukan..."

"Kali ini kita akan bersikap sedikit egois, Dek. Keselamatan eyang Siti lebih penting dan paling mendesak sekarang. Dan kita juga harus khawatir dengan keadaan Bu Mayang."

"Dia bisa menjaga diri."

Kiko mendongak dan menatap ibunya dengan pandangan tidak setuju. Bagaimana mungkin ibunya mengatakan hal seperti itu sementara eyang Mayang adalah wanita dengan kebutuhan khusus sekarang ini. Dia bisa menjadi mandiri tapi tetap saja, bantuan orang lain sesekali dia butuhkan.

"Tapi bulik Kinanti itu bisa melakukan apa saja, Bu." Kiko menarik kakinya gelisah.

"Eyang kamu itu juga sanggup melakukan apapun, Michiko. Bukan sekedar bisa tapi sanggup."

Kiko terdiam membisu dan mencoba memaknai dengan sungguh-sungguh kata sanggup yang diucapkan oleh ibunya dengan penekanan itu. Dia menelan ludah ketika menemukan sesuatu yang sangat berbeda dari makna dua kata itu.

"Tapi dia punya senjata api, Bu..." Bahu Kiko luruh ketika dia kembali mengingat apa yang dikatakan oleh Eyang Bayu terkait Kinanti.

"Boleh khawatir Michiko dan itu memang harus. Tapi Bapak dan Mas kamu akan memikirkan banyak cara. Langkah pertama yang harus kita ambil sekarang adalah mengeluarkan eyang Siti dulu."

Kiko tidak mengangguk atau menggeleng. Mereka beranjak dari sofa saat Ilman dan Dida keluar dari rumah induk.

"Kita jalan sekarang, Paklik. Dokter Angger dan Ankaa sudah menunggu."

"Mas yakin? Mbak...kenapa Mas Ilman boleh ke sana Mbak. Bahaya." Kiko menatap Mas dan Mbak nya bergantian.

"Nanti Mbak jelaskan ya. Sekarang kita harus berpacu dengan waktu, Dek."

Kiko menatap tak mengerti pada Mbak Dida yang mengulurkan sebuah tas yang pasti bersisi baju Mas Ilman.

"Pak, Kiko boleh ikut kan?"

"Boleh Mbak. Tapi nanti. Mas kamu harus ke rumah sakit dulu. Dan kalau nanti kamu menyusul, kamu tidak boleh emosi. Kita harus melakukan ini dengan sangat hati-hati."

Setenang permukaan air danau yang tidak beriak sedikitpun. Kiko memaknai raut wajah Wilda Ayu Bintari seperti itu. Mbak Dida nampak mengangguk dan mencium punggung tangan suaminya. Kiko melakukan hal yang sama dengan ragu. Dia masih ingin memastikan bahwa Mas nya memang akan mengikuti permintaan Kinanti, namun tepukan kedua tangan Mas nya di bahunya membuat Kiko membisu dengan isi kepala yang riuh.

PINK IN MY BLUEWhere stories live. Discover now