Patah tumbuh hilang berganti. Kalau untuk hal yang baik pepatah itu mungkin akan terdengar menenangkan hati. Namun untuk masalah yang silih berganti mendera dan terlihat selesai hanya untuk sebuah jeda sebelum muncul lagi di permukaan, itu cukup menyebalkan.
"Membagongkan kalau istilah anak sekarang."
"Tapi tidak mungkin kan bersembunyi terus terusan, Mas?"
"Aku cukup bersyukur dipindahkan ke Bantul. Walaupun jauh, bukan masalah. Tapi, Kinanti menyusul kemari? Siapa yang memberi tahu dia?"
"Bulik, Mas." Kiko mengingatkan Mas nya yang segera saja menghela napas jengkel.
"Dia juga tidak sadar kalau dia itu berstatus sebagai bulik."
"Mungkin orang rumah sakit yang memberi tahu."
"Aaah...aku lupa memberi kode pada mereka."
"Bulik Kinanti bisa diabaikan tidak sih Mas? Kita sudah banyak masalah."
"Diabaikan bagaimana? Dia bisa tiba-tiba menjadi berbahaya. Dan bapaknya melepaskannya keluar, dia bisa melakukan apapun."
Kiko mengaduk es cendolnya dan menatap kejauhan. Mereka berdua duduk di undakan menuju lantai 2 Pasar Bantul sambil menikmati es cendol. Dari tempat mereka duduk, mereka masih bisa melihat mobil Kinanti parkir di sisi jalan tepat di depan kantor pos. Hari itu sedang pasaran, Sabtu Kliwon, membuat Pasar Bantul ramai.
"Apa yang ada di pikirannya itu ya Mas? Merusak badan seperti itu. Kalau aku lihat tadi, dia bahkan seperti tidak memiliki pori-pori tubuh."
"Kamu tadi sempat bertemu?"
"Aku yang menyadari lebih dulu kalau dia datang Mas jadi aku memilih menghindar. Kalau ketemu paling dia mengajak perang."
Ilman tertawa sumbang. "Adil tidak sih? Kok kita jadi repot bersembunyi seperti ini?"
"Mau bagaimana lagi ya kan? Diladeni juga ribet banget."
"Mas jadi tidak bisa konsentrasi bekerja padahal ini kesempatan bagus untuk karir Mas."
YOU ARE READING
PINK IN MY BLUE
Romance"Heh cewek sipit, medhok..." "Hisssh...jauh-jauh..." "Nama kok seperti es jeli." "Hiish...saya sumpahin Mas naksir!" "Aku? Naksir kamu?" "Iya." "Bilang R dulu yang benar baru nanti ditaksir. Hahaha..." "Mas Ankaa jeleeeeeek..."