Bab 104. Yang Bergerak di Dua Sisi

1.7K 521 117
                                    

Terkapar tak berdaya dan tetap menolak pergi ke rumah sakit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terkapar tak berdaya dan tetap menolak pergi ke rumah sakit.

Kiko tidak lagi memperdulikan betapa adik dan Mas nya panik dan repot dengan keadaannya. Dia hanya bergumam lirih berkali-kali ketika Mas nya menjadi sibuk mengurusnya setelah mereka mendapatkan peralatan medis dan cairan infus. Sedang adiknya, dia menjadi sibuk di pantry dan membuat teh panas.

"Mas Ilman urusannya sudah sangat banyak, Dek. Jadi sebaiknya kita diam tentang masalah ini. Bagaimana?" Kiko berbisik lirih sambil menatap keluar. Mas nya sedang berbicara seorang temannya yang datang dari rumah sakit mengantarkan cairan infus.

"Kita bergerak sendiri, begitu maksud Mbak? Lah, Mbak Kiko saja tepar mendengar informasi seperti ini kok. Bagaimana aku harus diam?"

Kiko menatap cairan infus yang mengalir deras. "Mbak cuma lelah. Dan informasi itu Dek, Mbak tidak...belum bisa mencerna sepenuhnya. Terlebih..."

"...harga diri yang terluka karena salah menilai?"

"Itu juga." Kiko mencebik pelan namun sudut bibirnya segera naik begitu tinggi. Betapa dia benar-benar serius mencemooh dirinya sendiri.

"Siapa yang tidak sih Mbak? Lalu apa gunanya aku merasa harkatku sebagai laki-laki terinjak dengan sikap orang itu? Ya Allah Mbak...lha memang dia tidak memilikinya kok. Pantas saja. Yang lebih melukai harga diriku adalah kebodohan ku sendiri karena tidak tanggap dengan apa yang dilihat oleh mata dan didengarkan dengan telinga."

Kiko menatap adiknya lekat.

"Dia bukan pemikir yang baik dalam situasi terjepit Mbak. Seharusnya, dari pemilihan nama saja kita sudah tahu bahwa dia berbohong. Karl Lagerfeld? Memangnya dia perancang busana yang sudah meninggal itu?"

Kiko tertegun dan alisnya bertaut. "Ya Allah...benar. Kenapa tidak terpikir sampai ke sana?"

"Ya karena dia berhasil banget. Terapi hormon itu. Dia terlihat benar-benar sepenuhnya pria. Dan memakai pakaian dengan model turtleneck pada cuaca seperti saat kita memergoki dia, itu juga petunjuk penting yang terlewat."

"Dia tidak memiliki jakun."

"Huum. Kenyataan yang lebih menyakitkan adalah bahwa kita tidak sekuku hitamnya dibandingkan dengan Tuan Hercule Poirot. Sampai-sampai petunjuk segamblang itu terlewat."

Kiko mendesah panjang. Dia kembali menatap keluar. Entah apa yang dibicarakan oleh Mas nya dengan koleganya itu tapi pria itu masih berdiri di depan kantor.

"Mbak tidak menyangka saja kalau semua memiliki rahasia sebesar ini. Bisa dipastikan, keluarga Wibisono Dermawan mengetahui ini dan situasi yang mereka ciptakan sekarang adalah langkah mereka agar aib mereka tidak muncul di permukaan. Hanya saja, mereka melewatkan kehadiran Karl...Sandra maksud Mbak."

"Mengapa tidak membiarkan anaknya bertahan di Jerman saja. Paling tidak di sana tidak seribet ini bila terkait dengan LGBT."

"Tapi tetap saja kita tidak bisa menuduh, Dek."

PINK IN MY BLUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang