Bab 91. Insiden Baju Hadiah

1.7K 581 126
                                    

"Baik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Baik. Kamu? Ini pacar baru ya?"

Kiko menoleh ke arah Arlo yang meletakkan tangan di depan tubuh. Sikap sopan yang sangat terasah namun juga keberanian saat dilihat bagaimana Arlo berdiri dengan tubuh tegak. Pria itu bahkan tersenyum tipis.

Kiko kembali menoleh ke arah Sanusi Baco dan sang Direktur Utama Rumah Sakit yang masih mengamatinya dengan tatapan seakan dia ingin mengulitinya.

"Teman arsitek, Pak." Kiko menjawab singkat dan mencoba menutup obrolan.

"Oh...kamu terlihat sehat."

Kiko hanya tersenyum sambil mengamati raut wajah Sanusi Baco yang terlihat kesal karena dirinya dan Arlo yang menolak beramah-tamah. Ditambah lagi pesanan mereka yang akhirnya datang, suasana menjadi sangat canggung.

"Ya sudah."

Dan begitu saja. Sanusi Baco berbalik dan dengan bercakap dua pria itu benar-benar keluar dari restoran. Kiko dan Arlo menatap mobil mereka yang keluar dari area parkir.

"Selamat makan, Mas."

"Selamat makan."

Mereka akhirnya makan sambil bercakap-cakap ringan. Suasana tentu saja sudah terasa lain karena situasi tadi.

"Mereka terlihat seperti orang-orang pendiam yang sangat berbahaya."

"Begitulah kira-kira, Mas. Dan itu tadi adalah bapaknya Dokter Mia."

"Oh...Mas belum pernah bertemu in person. Tapi pernah dulu sekali membaca artikel tentang dia. Tapi setahu Mas dia tidak punya anak. Kan pernah ramai Dek, dewan direksi rumah sakit dengan polemik kelak akan diturunkan ke siapa jabatan prestisius itu."

"Kalau menurut Mas Ilman dan Mas Ankaa..." Kiko mengurutkan dari siapa dia mengetahui cerita itu terlebih dulu. Jelas Mas Ilman yang membuka percakapan tentang Dokter Arumia Sashikirana yang masuk ke rumah sakit belum lama ini. "...dokter Mia adalah anak dari adiknya Pak Direktur itu."

"Diangkat anak?"

Kiko mengangguk. "Adiknya Ajeng Maharani."

"Oh..."

Kiko tersenyum dan menyuapkan makanannya. Dia menunggu Arlo memberi tanggapan ketika dia menyebutkan nama Ajeng Maharani. Namun nyatanya, Arlo sangat peka dan tidak memberikan tanggapan apapun. Dia ternyata tipe pria yang mampu menyimpan apa yang dia tahu dan tidak mempertegasnya ketika dia merasa itu hanya akan menciptakan suasana tidak enak.

Menyelesaikan makan siang setelah tiga puluh menit, mereka kembali ke kantor dan Arlo segera melaju ke kantornya sendiri setelah menurunkan Kiko. Kiko menunggu hingga mobil Arlo berbelok di perempatan jalan sebelum dia masuk ke kantor.

Kiko menuju meja kerjanya dan menghela napas pelan ketika mendapati Mbak Dida belum berada di tempat itu. Kiko meluruskan kakinya namun segera tertegun memikirkan sesuatu.

PINK IN MY BLUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang