Bab 67. Duda Keren

2.1K 604 300
                                    

Haruskah memeluknya dan memberikan penghiburan sekarang?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Haruskah memeluknya dan memberikan penghiburan sekarang?

Kiko membeku di tempat duduknya sambil menatap Ankaa yang juga masih di posisinya. Dia mengangguk dan menghela napas samar.

"Aku..."

"Dia akan dikuburkan besok pagi jam delapan."

"Aku turut berduka cita, Mas." Kiko mengangguk dan dengan canggung mengalihkan pandangan ke pintu masuk. Seorang wanita terlihat melongok ke dalam. "Ada klien." Kiko beranjak dan berjalan melewati Ankaa yang beringsut. Suasana canggung menyergap dan Ankaa memilih duduk menunggu di kursi kerja kakaknya.

"Sudah mulai bekerja lagi?"

Ankaa menoleh dan menggeleng setelah lima belas menit berlalu dan klien Kiko sudah tidak ada di ruang penerima tamu.

"Belum. Besok setelah beres pemakaman baru dijadwalkan."

"Oh." Kiko mengangguk dan mematikan laptopnya. Dia lalu memeriksa jurnal hariannya dengan teliti. Mengabaikan tatapan Ankaa yang menatap punggungnya dan terdiam membisu. "Kalau mau kopi, bikin sendiri ya Mas."

Kiko menunjuk ke arah pantry dan beranjak menuju meja maketnya.

"Kapan ada waktu luang, Dek? Mas mau bicara."

Kiko mengambil beberapa pensil mekanik dan menoleh ke arah Ankaa. "Huum...kapan saja setelah semua selesai. Pemakaman pasti sangat sibuk."

Ankaa terlihat mengangguk dan beranjak. Dia menghampiri Kiko yang sedang memastikan kertas maketnya terpasang dengan benar. Gerakan itu akhirnya terhenti dan dia membeku.

"Maafkan Mas."

Kiko mengedip dan menatap tangan Ankaa yang memeluknya. Dia mengamatinya sebentar dan mengangguk. "Kita bicara besok, Mas. Aku, harus menyelesaikan ini segera." Kiko menunjuk kertas maketnya yang bahkan masih kosong.

"Assalamualaikum..."

Pelukan itu perlahan terlepas seiring dengan suara salam dan pintu yang terbuka. Sosok Mbak Dida masuk dan terlihat kerepotan dengan barang bawaannya. Ankaa dengan setengah berlari menghampiri kakaknya dan membantunya dengan satu kardus besar yang terlihat cukup berat.

"Waalaikumsalam." Kiko menjawab salam Mbak Dida dan setelahnya terpaku karena kakak beradik itu seperti tengah memperdebatkan sesuatu dengan suara rendah. Sesuatu yang jarang mereka lakukan apalagi ada orang lain dalam satu ruangan itu. Tapi, Kiko merasa, mereka sedang membicarakan hal yang sangat penting. Dia bisa membaca ekspresi Mbak Dida yang terlihat serius dan dari gesture tubuh Ankaa, pemuda itu juga terlihat serius mendebat kakaknya.

Kiko menunduk dan kembali menekuni maketnya. Dengan cekatan dia mengoperasikan pensil mekanik dan menarik penggaris membuat sebuah ritme menggambar yang selaras. Dia mulai bergumam pelan dengan hitungan-hitungan angka.

"Mas pulang dulu."

"Huum...hati-hati." Kiko menoleh sekilas dan tersenyum tipis sebelum kembali menekuni pekerjaannya. Gerakan pensil mekaniknya terhenti ketika dia mendengar suara pintu yang tertutup. Namun tangannya segera bergerak lagi dengan cekatan.

PINK IN MY BLUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang