Bab 75. Bukan Alur Tunggal

1.9K 584 118
                                    

Kiko memberi ruang pada Ibunya sementara Ibunya tersebut menyedekapkan tangan di depan dadanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kiko memberi ruang pada Ibunya sementara Ibunya tersebut menyedekapkan tangan di depan dadanya. Bentuk alami dari membentengi diri. Sekarang, membentengi diri dari kedukaan yang menyeruak hebat.

Tidak ada yang berbicara. Kiko menatap Bapaknya yang berdiri di samping Pakde Angger. Dia juga melihat Pakde Farel yang menoleh dan berbisik dengan Eyang Bayu.

Sejak gerendel pintu jati berukir rumah Medari dibuka, yang terjadi kemudian adalah kebisuan yang ganjil. Kiko memaknai situasi itu sebagai hal yang tidak manusiawi. Terlepas dari pengakuan Sanusi Baco yang mengatakan bahwa penyebab kematian kelima Bulik adalah karena sebab yang alami, meletakkan jenazah di sebuah ruangan yang dicor menyatu dengan dinding jelas tidak manusiawi untuk dilakukan.

Kiko menoleh menatap Mas nya yang sejak tadi ikut mengevakuasi jenazah. Juga Ankaa yang memasang sarung karet kedua. Kembali, pemandangan bekas infus terlihat dari pergelangan tangan pemuda itu.

Kiko menunduk menekuni ujung sepatunya. Puluhan pertanyaan simpang siur di kepalanya. Kematian beruntun? Apa itu tidak terlalu mengada-ada? Mati satu demi satu ketika dipindahkan ke rumah bekas panti ini? Kematian satu orang saja bisa menjadi pemicu kecurigaan, apalagi lima sekaligus. Kiko mendongak dan dia benar-benar ingin bertanya pada seseorang di tempat itu. Mengapa mereka tidak melibatkan polisi?

"Huuft..." Kiko menepuk dadanya ketika akhirnya lima peti berjajar dalam posisi yang wajar. Berderet di ruangan di samping ruang dimana mereka di cor.

Di cor! Mungkin kata itu antara tepat dan tidak tepat. Sanusi Baco membuat ruangan khusus menyatu dengan dinding dan tidak semata menimpa peti dengan adukan semen dan pasir. Itu, bukan semata di cor.

Kiko menggeleng. Apapun yang dilakukan oleh pria itu, dia biadab. Itu saja.

"Mbak..."

Kiko menoleh dan mendapati Gempar sudah berada di belakangnya. Pemuda itu berbisik lirih.

"Huum...kenapa?"

"Bapak bilang kita pulang saja dulu."

"Mbak mau di sini dulu. Kamu kalau mau pulang duluan, pulang saja. Mbak nanti sama Mas Ilman."

"Ya sudah. Aku juga di sini."

"Nanti kamu bawa mobil Mbak karena Mbak perlu bicara sama Mas Ilman."

"Mas Ilman pasti ke rumah sakit Mbak."

"Ini memang mau dibawa ke rumah sakit?"

"Loh...memangnya tidak?" Gempar balik bertanya dengan raut keheranan.

"Bingung kan? Sama."

Mereka berbicara sambil berbisik dan terus menatap kegiatan di depan mereka. Beberapa orang sedang mengeluarkan puing-puing bongkaran tembok. Kiko dan Gempar akhirnya ikut bergeser ke ruang samping dan aroma bubuk kopi menyeruak hebat.

PINK IN MY BLUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang