Bab 100. Saham Satu Persen Itu...

1.6K 569 96
                                    

"Kami tidak bisa membukanya tanpa surat perintah dari kepolisian atau perintah atasan Mbak

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Kami tidak bisa membukanya tanpa surat perintah dari kepolisian atau perintah atasan Mbak. Karena ini sebuah instansi dan bukan ranah publik."

Kiko termenung dan mengangguk. Dia mengucapkan terima kasih pada kepala keamanan rumah sakit yang bergeming di tempatnya berdiri. Kiko berbalik dan berjalan di sepanjang koridor dan berpikir seharusnya dia tahu kalau apa yang dia lakukan akan sia-sia. Kalaupun pada kenyataannya hal itu bisa dilakukan oleh seseorang dari pihak rumah sakit, tentu saja mereka, orang-orang yang bisa melakukannya, tidak akan melakukannya. Mereka pasti sudah disumpah untuk tidak melakukannya.

Kiko mendorong pintu ruang rawat Ankaa dan masuk perlahan. Mas nya yang libur nyatanya bertahan di tempat itu setelah insiden kembang kantil menjelang dini tadi.

"Bisa?"

Kiko menggeleng dan Mas nya tidak terlihat heran.

"Mas benar, tidak bisa dong..." Kiko tertawa sumbang. "...padahal aku sudah mengatakan aku mencurigai aktivitas tidak wajar di ruangan ini, Mas. Mas Ankaa itu dokter di sini loh." Kiko berbicara sambil berbisik dan dia menatap Ankaa yang tertidur pulas setelah minum obat paginya.

"Karena, memang ada yang tidak beres. Kita tidak bisa mengabaikan bahwa situasi ini janggal. Tapi kita tidak bisa juga mengkonfrontasi orang-orang yang terlibat. Kita sedang ada di kandang lawan."

"Huum. Aku akan mengambil cuti sampai Mas Ankaa benar-benar pulih, Mas. Tapi aku masih bisa mengambil pekerjaan-pekerjaan kecil dan dikerjakan di sini."

"Oke. Mas jemput Mbak Dida dulu ya. Mau nitip apa?"

"Cemilan saja Mas. Macaroon yang di samping taman dekat rumah."

""Omah Macaroon?"

"Iya, Mas. Jangan di tempat lain ya."

"Oke. Mas jalan dulu."

"Kenapa Mbak Dida harus dijemput? Dia kan bisa bawa mobil..."

"Karena kondisinya sedang tidak baik, jadi Mas bilang kalau Mas akan menjemput. Mengerti?"

"Modus."

Ilman tertawa pelan dan meraih dompetnya yang tergeletak di meja. Dan dia mengulurkan tangan ke arah Kiko namun Kiko bergeming.

"Biar Mas yang bawa. Sini."

Dengan enggan Kiko mengeluarkan kembang kantil yang sudah dia masukkan ke sebuah plastik bening berukuran kecil dari saku celananya.

"Kita perlu bicara dengan Simbah kan Mas?"

"Mas yang akan bicara sama Simbah setelah mengantar Mbak Dida kemari. Mas akan pulang sebentar."

"Oke Mas."

Kiko beranjak dan mengekor Mas nya menuju pintu. Dia juga melongok lama memastikan Mas nya sudah berbelok di koridor di depan ruang jaga perawat sebelum menutup pintu pelan. Dia menghela napas panjang dan berjalan ke sofa. Hari-hari membosankan seperti itu jelas bukan kali pertama Kiko alami. Dia pernah merasakan rasa seperti itu ketika dia harus menunggui Eyang Mayang yang harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Tapi, insiden semalam jelas membuatnya khawatir.

PINK IN MY BLUEWhere stories live. Discover now