Bab 47. Satu Dibanding Tiga Belas Ribu

2K 567 145
                                    

Angin dari utara berbalik arah setelah menabrak dinding pembatas jembatan layang yang cukup tinggi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Angin dari utara berbalik arah setelah menabrak dinding pembatas jembatan layang yang cukup tinggi. Namun, sebagian lagi mampu naik lebih tinggi dan menyebar atau melayang di bawah melewati kolong jembatan dan menjauh bersama kendaraan-kendaraan besar yang melintas.

"Maafkan anak saya dan semua apa yang dilakukannya baru-baru ini."

Ankaa membisu. Sudah seharusnya Kinanti memang meminta maaf padanya atas fitnah yang wanita itu lakukan terkait dengan pengambilan secara diam-diam sampel DNA Bapaknya. Tapi, Ankaa merasa tidak membutuhkan kata-kata itu. Termasuk ketika kata-kata itu justru keluar dari mulut seorang Sanusi Baco. Terlebih lagi, caranya meminta maaf sungguh ekstrim dan sempat menimbulkan kecurigaan di benaknya. Apakah bisa dibenarkan menghadang seperti begal untuk mengucapkan sebuah permintaan maaf?

Ankaa memasukkan tangan di kedua sakunya. "Ada beberapa hal penting yang membuat saya melakukan itu."

"Jadi benar anda yang meminta Kinanti melakukan hal itu dan bukan Ilman?"

"Benar." Ankaa mengangguk kecil.

"Tapi..."

Di balik kata-katanya yang menggantung, Ankaa tahu Sanusi Baco mengamatinya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Pria itu pasti tengah berusaha meraba seperti apa seorang Ankaa Pananggalih itu. Bagaimana kepribadiannya, apa yang mungkin dilakukan setelah ini, apakah dia punya ketakutan berhadapan dengannya? Semacam itu.

"...apapun yang anda temukan, sekalipun itu sebuah kebenaran, saya tidak ingin anda mengusiknya Dokter. Ini adalah murni urusan saya. Ranah saya."

"Tidak ketika hal itu bersinggungan dengan keluarga Danurwendo, Pak Baco. Karena saya terkait dengan putri mereka secara emosional."

"Anda pria yang berkomitmen. Saya kagum. Gadis itu...Kiko...sangat beruntung."

Ankaa tidak menanggapi kata-kata Sanusi Baco yang selayaknya sebuah pujian itu. Ankaa hanya menegakkan bahu dan sedikit mendongak.

"Keinginan saya sangat sederhana sebenarnya. Yaitu Ilman segera menikahi Kinanti seperti apa yang direncanakan. Tidak lebih dan tidak kurang."

"Anda melihat begitu banyak contoh di depan mata. Apakah anda yakin akan meneruskan semua itu? Pernikahan Mas Ilman dan Mbak Kinanti, bukankah itu berarti anda mengulang hal yang sama?"

Ankaa menahan napas ketika melihat Sanusi Baco mengepalkan tangannya samar. Pria itu segera menguasai dirinya dan memasukkan tangan ke saku coat panjangnya.

"Anda tahu banyak ternyata."

"Tidak. Yang sedikit justru seringkali sudah cukup untuk memperlihatkan sesuatu. Saya tidak bermaksud menantang, tapi apa mau anda dari saya?"

Pemuda dua puluh tiga tahun yang tentu saja di luar perkiraan Sanusi Baco. Pria itu terlihat cukup terkejut dengan sosok Ankaa. Dia seperti tidak menyangka bahwa Ankaa yang masih muda, sanggup berbicara seperti itu dengannya. Raut wajah Sanusi Baco nampak pias namun seperti halnya para pria dengan kepribadian sepertinya, pria itu segera bisa menguasai dirinya dan tersenyum.

PINK IN MY BLUEWhere stories live. Discover now