Bab 64. Rencana Sang Maestro yang Masih Abu-abu

1.7K 567 153
                                    

"Aku bukan tidak percaya hal seperti itu

Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.

"Aku bukan tidak percaya hal seperti itu..." Kiko mengusap tengkuk dan memijatnya perlahan.

"Mbak juga. Tapi bukan berarti kita bisa mengabaikan hal ini, Dek."

Mereka masih berdiri di depan ruko potong rambut asli Garut dan menatap Ankaa dan Ilman yang sedang memindahkan mobil Ilman ke posisi yang benar.

"Aku hanya tidak mau ribut, Mbak." Kiko menunduk menekuni ujung sandalnya. Dia bahkan keluar tanpa memakai sepatunya.

"Mbak tahu. Tapi kalau apa yang dikatakan Mbak Kinanti benar?"

"Tahu darimana dia, Mbak."

"Kadang...orang dengan kondisi kejiwaan seperti itu justru tahu segalanya." Dida menekankan kata tahu segalanya dan menatap Kiko lembut. "Bukan berarti pemilik wajah malaikat seperti Ajeng Maharani tidak mungkin melakukan hal seperti itu."

"Aku lebih memikirkan kondisi Mbak Kinanti. Dia sangat tidak sehat dan Bapaknya membiarkan dia berkeliaran?"

Helaan napas terdengar dari mulut Dida. "Kamu benar. Apa sebenarnya maunya Pak Sanusi itu? Kalau memang tidak mau mengurus dengan baik, kenapa tidak diberikan saja pada keluarga Danurwendo?"

"Dia bisa membahayakan banyak orang Mbak. Seperti tadi. Dia pasti sudah menguntit Mas Ilman sejak pagi lalu bertindak bar-bar. Mas Ilman atau siapapun yang bersinggungan dengannya ada dalam bahaya."

Mereka menatap mobil Ilman yang dengan susah payah diturunkan dari bahu jalan. Mobil itu sekarang terparkir dengan benar dan Ilman keluar dari mobil itu. Dia dan Ankaa terlihat melihat kerusakan mobil dan berbicara dengan serius.

"Aku tidak bisa melarang Mas Ankaa pergi, Mbak."

Dida menoleh prihatin pada Kiko. Wanita itu segera menggamit lengan Kiko dan sebelah tangannya mengusap lengan itu lembutnya. Mereka sudah membicarakan hal itu dia hari yang lalu. Ankaa atau siapapun dokter yang berada dalam posisinya, akan sulit menolak perintah para petinggi terkait kebutuhkan pasien. Apalagi, ketika disertai embel-embel agar mereka bekerja sembari sambil menyelam minum air. Seperti apa yang diusulkan oleh  para petinggi pada Ankaa, bahwa dia akan mendampingi pengobatan Ajeng Maharani sekalian belajar dari dokter-dokter senior di luar negeri tentang pengobatan itu. Sesuatu yang tidak bisa dibantah bahkan oleh dokter Angger Pananggalih yang juga menjadi petinggi di rumah sakit pusat.

"Apa yang bisa aku lakukan selain prihatin dengan kondisinya, dan percaya bahwa Mas Ankaa memang harus melakukannya."

"Huum." Dida mengangguk dan menegakkan tubuhnya. "Kita balik dulu."

Kiko mengangguk dan berjalan terseok dipapah oleh Dida. Ankaa dan Ilman yang sudah selesai dengan urusan mobil, mengekor di belakang mereka sembari membisu.

Tidak banyak yang dilakukan setelahnya. Dida menurunkan setumpuk handuk bersih dan Ilman memilih mandi di lantai bawah sementara Ankaa menaiki tangga sambil melepaskan kancing kemejanya. Dia terlihat mendongak dan menarik napas dalam seakan harinya begitu berat.

PINK IN MY BLUETahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon