Part 32🔷

343 18 0
                                    

Terkadang,
Berdamai dengan diri sendiri itu sangat di perlukan.
--Monday--

***

"Kenapa kau kemari?" tanya Vano pada lawan bicaranya.

Yang tak lain. Adalah, Gerhana Adista. Atau mungkin Zalina Braz.

"Maafkan Aku" ujarnya pelan. "Aku tidak membaca riwayat kesehatan Vino terlebih dahulu, sebelum menanyakan hal yang membuatnya seperti ini" Hana tertunduk menyesal.

Yah, ia memang salah. Ia tidak membaca riwayat kesehatan Vino yang ada di tasnya. Ia baru membacanya setelah keluar dari ruang kaca itu.

Dan yang membuat Hana terkejut adalah. Ternyata Vino sudah mengalami hal itu dari umur 2 tahun. Di tambah Vino memiliki ketakutan saat di dekat wanita. Ah, tidak hanya wanita namun semua orang yang ia anggap membahayakannya, hal itu sungguh membuat Hana terkejut. Ia tak menyangka anak sekecil Vino bisa mengalami social Anxiety disorder atau Fobia Sosial.

Di umur Vino yang masih 4 tahun, ia sudah memiliki Fobia yang akan mengganggunya. Di tambah Serangan panik.

Di dalam otak Hana ia hanya berpikir, apa yang terjadi pada Vino di usia terbilang sangat dini, dan memiliki banyak ketakutan.

"Bisa kita bicara, sebentar?" Vano kembali menoleh pada Hana yang masih berdiri di sampingnya. Dan tampa mengatakan apapun, Vano keluar di ekori oleh Hana.

Vano berjalan menuju ruang kerjanya dan Hana masih tetap mengikuti dari belakang.

"Apa yang ingin kau bicarakan" ujar Vano tak mau membuang waktu.

Hana menghela nafas kasar. "Aku sempat berbicara dengan, Vino. Aku menanyakan. Bagaimana perasaannya tinggal di lingkungan seperti ini"

Hana menatap Vano yang juga menatapnya serius.

"Dan dia menjawab. Sulit, sangat sulit. Itu yang Vino katakan. Dan dia juga bilang. Di saat anak anak seusianya bermain, dan bersekolah di taman kanak kanak, Dia malah homeschooling"

Vano masih menyimak penjelasan Hana tanpa menyela.

"Ini tidak Baik, Tuan. Perkembangan Vino terganggu karena ketakutannya" ujar Hana putus asa.

"Pasti Vino bisa sembuh. Aku yakin" Ujar Vano tegas.

Vano sangat yakin, putranya bisa sembuh. Putranya bisa bermain dengan anak anak lainnya. Putranya akan bisa bersokolah dengan normal. Dan putranya harus bisa sembuh.

"Aku akan mulai besok untuk proses penyembuhannya. Saya akan coba untuk meyakinkan saja, karena medis belum menemukan obat dari ketakutan Vino itu. Dan itu harus juga dengan bantuan, Tuan"

Vano mengangkat alisnya sebelah. "Kenapa aku harus terlibat"

"Heh! Vino putra mu. Dia sangat menyayangi mu. Jadi ada banyak potensi untuk kau bisa menyembuhkannya"

"Baiklah. Apa pun"

"Aku sudah selesai bicara. Dan terima kasih atas waktunya" ujar Hana berbalik hendak menuju kamarnya.

Yah, memang di rumah ini ia harus tinggal. Walau sedikit terpaksa. Dan saat Hana pertama kali masuk ke kamar yang akan ia tempati. Mulut Hana tak bisa tertutup untuk beberapa detik. Kamar Hana sangat mewah, semua kebutuhan Hana pun telah tersedia. Dan bukan sembarang, brand dari baju, shampo, sabun dan yang lainnya adalah brand brand mahal dengan harga fantastis.

"Jangan memanggilku seperti itu" ujar Vano saat Hana hampir menghilang di balik pintu.

"Hah?"

"Panggil aku. Al, atau Vano. Jangan memanggilku dengan sebutan 'Tuan'"

Destiny Hana [✔]Where stories live. Discover now