FioChik

2.1K 117 2
                                    

"Kak Fiony,"

"Panggil Fiony aja."

Aku mengatupkan bibirku. Ucapanku langsung di jawab begitu saja. "Ah iya deh, kamu juga manggil akunya ga usah pakek kak juga ya." Dia tersenyum dan mengangguk.

Ku tatap lebih intens wajahnya. Aku tersenyum sendiri melihat wajah bayinya yang begitu polos. Sungguh malang sekali nasibnya.

"Kalau boleh tau kamu mau kemana Fio bawa banyak barang barang gini." Ku lihat perubahan raut wajahnya yang kontras. Dia menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan ku.

"Aku nggak tau mau kemana Chik. Aku baru aja di usir dari rumah. Katanya aku anak yang bisa nyusahin mereka aja hiks."  Aku langsung panik kala ia mulai terisak menceritakan apa yang ia alami. Sebisa mungkin aku elus bahunya untuk meredakan tangisannya.

"Aku udah nggak punya siapa siapa lagi hiks, biarin dah aku mati kelaparan di sini." Ku lihat ia membuka kaca matanya dan menyeka air matanya yang terus mengalir.

Dengan cepat aku mengeluarkan tissue dari dalam tasku. Langsung ku sentuhkan ke area pipinya. "Pakai ini." Dia menerimanya. "Makasi Chik."

Dari ujung jalan sana, terlihat satu bis yang mulai mendekat ke arah kami berdua. Tepat di depan kami bis itu berhenti dan membukakan pintunya. "Ayo!."

Dengan sigap aku langsung berdiri dan meraih tas besar di sebelah Fiony. "Ayo Fiony, ambil tongkat kamu. Bisanya udah sampai, kamu ikut aku sekarang." Ia langsung mengambil tongkatnya dan beranjak. Ku tuntun dia untuk masuk ke dalam bis terlebih dahulu.

Kami duduk bersebelahan dengan fiony yang duduk di dekat jendela.

"Kita mau kemana Chika?."

"Ke rumahku."

•••



Setelah aku membayar ongkos bisnya, aku menarik lengan fiony dengan tas besarnya yang ada di pundakku. Kami masuk ke dalam halaman rumah dan mulai menekan bel di pintu rumah.

"Iya, siapa?." Terdengar langkah kaki mamiku yang tergesa gesa dari dalam sana.

"Chika?, eh ini siapa?."







Aku sedang meletakkan barang nya Fiony ke dalam kamarku. Ku suruh mamiku untuk menemani Fiony sebentar di bawah sana.

"Kok kamu bisa di usir sama keluargamu sayang?." Ku dengar penuturan mamiku yang begitu lembut pada Fiony. Aku yang mendengarnya pun serasa hanyut dalam suara tersebut.

"Saya udah nggak diinginkan lagi di sana tan, katanya saya cuma ngerepotin mereka aja."

Aku mulai mendekat ke arah mereka berdua, mendudukkan diriku di sebelah Fiony.

"Mulai sekarang sampai seterusnya kamu tinggal di sini ya sama aku dan mami aku. Kami cuma berdua di sini." Dia menggeleng dengan keras. Aku tau maksud dia menolak tinggal di sini.

"Aku nggak merasa di repotkan sama sekali kok. Lagian aku biar ada temen di rumah Pio." Aku melirik ke arahnya yang tengah tersenyum. Mungkin dia salah tingkah dengan panggilan baruku untuknya.

"Tapi kamu beneran kan?, bahkan keluarga aku aja menganggap aku beban. Terus gimana dengan kalian."

Cup

Dia langsung terdiam. Sedikit warna kemerahan muncul di pipinya. Tepat di area yang ku cium.

"Kamu salting?." Dia langsung menutupi area wajahnya.








Kini fiony terlihat lebih segar di mataku. Apalagi perpaduan antara baju oversize dan celana pendek membuat dirinya semakin cantik.

Aku makin suka jadinya,

Aku yang sudah selesai mandi pun mendekat ke arahnya dan duduk di sebelahnya. Menghirup dalam dalam aroma sabun bayi yang ia gunakan. Berbeda denganku yang suka dengan bebauan bunga.

"Hey Pio," Aku meraih tangannya dan ku genggam dengan erat.

"Ada apa Chik?." Sepertinya ia merasakan sedikit sakit pada remasan jari jemarinya.

"Aku udah nanyak sama temen aku yang kerja di rumah sakit. Katanya mereka kebetulan ada donor mata untuk kamu. Jadi kamu mau ya?." Pintaku dengan amat sangat memohon padanya.

Ia menggeleng dan tersenyum getir ke arahku. "Kamu jangan bercanda deh Chik, aku belum ada sehari tinggal di sini loh." Ucapnya, seakan aku hanya anak kecil yang sedang menjahili ibunya. Padahal aku mengatakannya dengan sungguh sungguh.

Karena aku, mencintai kamu Fiony.

"Aku nggak bis-"

Cup

Ia tak bisa melanjutkan ucapannya. Karena bibirnya baru saja ku bungkam dengan bibir milikku. Hanya ku kecup saja dan ku diamkan di bibirnya. Ia sepertinya sedang terkejut dan berusaha menetralkan jantungnya.

Ia memundurkan kepalanya tapi dengan cepat tangan kananku menarik kepalanya dan ciuman kami tak jadi terlepas. Aku semakin memperdalam ciumannya dengan sesekali ku lumat bibir tebalnya itu.

Aku tak sengaja membuatnya melenguh kecil dalam lumatan yang ku berikan. Setelah puas aku melepaskan pagutan itu. Aku mengelus bibirnya yang basah dengan ibu jariku.

"Pliss, kamu mau ya." Layaknya anak kecil, Fiony pun mengangguk setuju.

ONESHOOT48Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang