KACILA [Cinta Abadi]

1.9K 82 4
                                    

°

°

°

"Jessi,"

Orang yang dipanggil namanya menghentikan langkah kakinya. Masih menatap lurus ke depan dengan tatapan yang sendu. Sebanyak apapun air mata itu dihapuskan, maka sebanyak itu pula ia kembali mengalir.

Jadi Jessi membiarkannya terus mengalir.

Bulu kuduk Jessi semakin meremang. Dengan kondisi yang kian menggelap. Angin malam menghampiri kulit Jessi yang halus dan putih. Namun ia masih enggan untuk beranjak dari tempatnya.

Jessi masih dengan pakaian serba hitamnya. Namun kacamata hitamnya sudah lama bertengger di kerah bajunya.

"Pebi kangen Jeci," Demi apapun, air mata Jessi lirih semakin deras.

Suara itu, suara yang menjadi candu bagi Jessi kini kembali memunculkan wujudnya. Tepat di belakangnya.

Jessi tertunduk, menggeleng pelan untuk menepis segala imajinasi yang ada di kepalanya. Kehilangan orang yang dicintai memang seberat itu. Namun Jessi tidak ingin menjadi orang gila karena merasa ditinggalkan.

"Jeci, lihat Pebi dong!" Ia merengek di belakang sana. Jessi terkekeh lirih dan sekaligus merinding.

Haruskah Jessi membalikkan badan dan menghamburkan pelukannya pada sosok yang ada di belakangnya? Karena berhubung ini masih di area pemakaman, jadi Jessi urungkan niat tersebut.

Ia hanya mampu membalik badan dan menatap sorot mata yang sendu tersebut. Dengan wajah yang sedikit pucat pasi. Namun bagaimana pun keadaannya, di mata Jessi itu semua masih terlihat sama.

Sama cantiknya dan selalu menjadi ratu di dalam hati Jessi.

Namun untuk sekarang, Jessi harus tertampar fakta bahwa ia dan Pebi tidak akan pernah bisa bersatu. Karena bagaimana pun juga dunia mereka sudah tak sama.

Jessi kembali menenggelamkan wajahnya ke kedua telapak tangannya. Ia tak mampu menyaksikan apa yang sedang terjadi di depannya. Apakah Jessi pingsan di dekat makam Pebi dan arwahnya keluar dari dalam raganya? Sehingga ia dengan jelas dapat melihat wujud Pebi.

Pebi, Febriolla Sinambela. Pebi adalah sebutan yang diberikan Jessi. Menurutnya, nama itu cocok dengan kelakuan centil dan lucunya.

Dan Jeci, panggilan kecil dari Pebi untuk Jessi. Hingga akhirnya nama itu selalu digunakan hingga saat ini.

Jessi masih berada di area pemakaman. Jessi baru saja menghantarkan Pebi-dunianya Jessi, semestanya jessi-menuju ke peristirahatan terakhirnya.

Jeci nya Pebi jangan nangis terus."

Suara itu kembali membawa Jessi ke kesadarannya. Ia kembali menurunkan kedua tangannya dan perlahan menatap sosok yang ada di depannya.

Tetap sana dan tidak berpindah sedikit pun.

Apa yang harus Jessi katakan? Meminta Pebi untuk kembali dan selalu berada di sebelahnya?

Jessi kini melangkahkan kakinya dengan perlahan, mendekat ke sosok Pebi yang ada di depannya. Jessi sebisa mungkin menatap dengan dalam mata sekaligus wajahnya Pebi.

Jessi dapat melihat bahwa di sana ada raut kesedihan di matanya. Desi mengangkat kedua tangannya dan meletakkannya di pipi Pebi. Entah keberanian dari mana, yang jelas kini kedua telapak tangannya terasa sangat dingin.

Namun begitu Jessi tak melepaskannya sama sekali. Seperti Jessi  sudah kehilangan rasa takutnya karena rasa rindunya amat sangat besar.

"Pebi," ujar Jessi dengan lirih. Ibu jarinya mengelus dengan lembut pipi Pebi. Pebi pun menyunggingkan senyumnya.

"Jeci jangan sedih terus, janji deh Pebi bakal nemenin jeci terus." Hati Jessi seakan tersayat sayat mendengar ucapan Pebi. Jessi hanya bisa menganggukkan kepalanya sembari memejamkan mata.

Air matanya kembali lirih membasahi pipinya.

"Gapapa, Pebi nggak perlu nemenin Jeci di sini. Karena sekarang dunia Pebi enggak di sini lagi." Jessi senang bila Pebi selalu berada di sisinya. Tapi Jessi tak ingin dengan wujud seperti ini. Mau bagaimanapun, Jessi harus bisa mengikhlaskan kepergian Pebi.

Namun Pebi menggeleng dengan keras sehingga kedua telapak tangan Jessi yang ada di pipinya terlepas. Pebi menghamburkan pelukannya, dan tentunya membuat Jessi semakin meremang.

Bagaimanapun juga, Jessi tidak sedang dipeluk oleh manusia.

Jessi mengesampingkan semua itu dan kembali fokus ke Pebi. Wanita itu terisak dalam pelukan Jessi. Meletakkan wajahnya di sela sela leher Jessi.

"Sekarang dunia Pebi lagi dipelukan Pebi. Dunianya Pebi juga lagi hancur karena Pebi tinggalin."

Ya, Jessi mengerti akan maksud yang diucapkan Pebi.

"Jadi buat apa Pebi pergi kalau dunia Pebi adalah Jeci,"

Jessi meraih kepala Pebi, menyatukan kening mereka berdua. Tak peduli jika aroma tubuh Jessi akan seperti tanah kuburan atau kembang kuburan sekali pun.

Karena kesempatan ini tak akan terjadi terus menerus. Jadi Jessi memanfaatkannya sebaik mungkin. Jessi acuh jika ada hantu lain yang iri terhadap dirinya.

"Pebi, liat Jeci. Kamu bakalan tersiksa sayangku, cintaku. Percaya deh, dengan wujud kamu yang sekarang tentu kamu akan kesakitan kalau berada di samping aku terus menerus."

"Pebi ngga peduli, mau gimana pun juga. Biarkan cinta ini menjadi abadi Jeci, jangan paksa Pebi untuk pergi. Cinta ini yang membuat Pebi keras kepala. Dan biarkan Pebi selalu ada di samping Jeci."

Mereka kembali menuangkan rasa cinta mereka masing masing. Memang benar jika cinta mereka berdua akan menjadi abadi untuk selamanya.

Walau dengan banyaknya perbedaan, mereka akan menjalaninya selalu. Dengan menautkan jari jemari mereka, maka perjalanan mereka akan mulus sampai akhir nanti.

"Selamat jalan dan selamat datang kembali Pebi nya Jeci."

ONESHOOT48Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang