7. HUJAN DAN AVOCADO COFFEE

2.4K 363 152
                                    

7. HUJAN DAN AVOCADO COFFEE

Di tengah mendung yang masih menggantung, Arbi melajukan motornya membelah jalan raya yang padat kendaraan karena bertepatan dengan jam pulang kerja. Deru sepeda motor saling bersahutan dengan suara klakson mobil.

Arbi cemas, kalau ia tak segera keluar dari baris kemacetan ini, ia akan membuat perempuan di belakangnya kehujanan. Bukan karena hujannya, tapi bisa saja nanti Mika jadi terserang flu.

Jadi dengan keterpaksaan, Arbi harus membuat pengemudi-pengemudi di sekitarnya saling menekan klakson dan melemparkan umpatan-umpatan untuk Arbi yang dengan seenaknya sendiri melajukan motor.

"Arbi, nggak boleh main serobot-serobot tahu," Mika sedikit memajukan tubuhnya supaya Arbi bisa mendengar ucapannya.

Arbi diam saja, padahal dia mendengar.

Cewek di belakangnya menarik napas, kemudian mengepalkan tangan untuk menggetok kepala Arbi yang masih terbungkus helm. Arbi terkejut, lalu menghentikan motornya tiba-tiba.

Arbi segera melepas pelindung kepala biru putihnya dan menolehkan wajahnya ke belakang. Ia mendelik ketika wajah Mika tepat berada di depannya. Cowok itu langsung menjauhkan wajahnya.

"Ada apaan, sih, Mikaaa? Pakai segala getok-getok kepala."

Mika meringis. "Hm ... habisnya Salju diajak bicara diem aja. Salju ngerti Bahasa Indonesia, kan ..."

"Nggak ngerti. Dari dulu gue ngomong sama lo juga pakai Bahasa Turki, kan," jawab Arbi mukanya datar.

Mata Mika berbinar-binar, mulutnya sedikit menganga. "Wow, berarti dari dulu gue bisa Bahasa Turki dong, ya. Waaah, betapa hebatnya gue. Padahal nggak sekalipun terlintas untuk mempelajari bahasa yang satu itu."

Arbi geleng-geleng kepala, prihatin dengan keadaan Mika yang kian hari semakin menjadi-jadi. "Terserah lo."

Jeda beberapa saat keduanya saling diam. Arbi menghadap ke depan, sementara Mika masih dengan ekspresi memuja dirinya sendiri yang mengkhayal dari dulu bisa Bahasa Turki.

Tiba-tiba pelupuk awan tak bisa membendung air yang sedari tadi sudah berkerumun minta jatuh ke bumi. Awan gelap itu meluruh dengan sempurna, sukses membuat manusia yang sedang lalu-lalang di jalan raya meminggirkan kendaraannya. Sekadar memakai jas hujan.

Tak terkecuali dengan Arbi yang dengan sigap membawa kuda besinya itu ke emperan sederet toko. Keduanya lalu turun dari motor. Arbi mengamati Mika yang sedang menggosokkan kedua telapak tangannya. Cowok itu melihat ke depan. Dia memprediksi hujannya akan berhenti lama.

Arbi berdeham membuat perempuan di sebelahnya menolehkan wajah. "Kenapa, Ju?"

"Dingin?" tanya Arbi singkat.

Mika mengangkat sebelah alisnya. "Gue? Bukannya selama ini lo yang dingin ke gue?"

Arbi menarik napas mencoba tetap bersabar dengan Mika yang sering salah tangkap seperti ini. "Hm, maksud gue, lo kelihatan kedinginan, apa perlu beli sesuatu yang hangat?" cowok itu memperjelas maksud ucapannya.

"Oh, eh? Hehehe nggak mau beli, maunya dipeluk Arbi aja nanti pasti nggak kedinginan lagi. Kali ini nggak Salju, nanti tambah beku gue." Mika nyengir.

Arbi bergidik, ia sama sekali belum pernah memeluk perempuan. Kecuali bunda atau beberapa saudaranya. Jadi ia memutuskan menutup mulutnya lagi. Sedangkan matanya berkeliling mencari sesuatu yang mungkin bisa sedikit membuat perempuan di sebelahnya merasa lebih baik.

Petrichor Coffee Cafe. Arbi membaca tulisan besar yang tertera di sebuah bangunan polos putih yang sekilas sederhana tapi terlihat berseni karena dari pintu kaca kedai itu bisa terlihat dalamnya yang diisi dengan arsitektur kayu-kayu serta gambar-gambar dan lukisan menarik.

From Earth to Stars||✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang