46. PAIN

515 81 6
                                    

46. PAIN

Sedari tadi Arbi melamun sambil sesekali matanya melirik ke bangku seberang yang masih kosong. Materi kesetimbangan kelarutan yang sedang dibahas oleh Bu Heni tidak masuk sama sekali ke dalam telinganya. Ia masih bertanya-tanya apa yang terjadi dengan Ineth sehingga gadis itu belum datang juga tanpa keterangan.

"Woi, mikirin apa sih."

Jefron yang duduk di sebelah Arbi menyenggol lengan kanan Arbi. Jefron sadar sedari tadi Arbi tidak fokus pada pelajaran di depan dan ia bisa menebak kalau temannya itu sedang cemas karena Ineth tidak kunjung terlihat batang hidungnya.

"Lo ada tau Ineth kenapa nggak masuk nggak?" tanya Arbi langsung.

Cowok di sebelah Arbi ini menghela napas, ternyata dugaannya benar.

"Nggak tau gue." Jefron menggeleng.

Arbi kembali diam, wajahnya tidak lagi menghadap ke Jefron. Ia melihat ke papan tulis di depan dan berharap waktu istirahat segera datang.

Masih lima belas menit lagi bel berbunyi dan Arbi benar-benar ingin cepat pergi dan mencaritahu apa yang terjadi pada Ineth, sahabatnya itu. Bukan karena apa, tapi Arbi khawatir ada hal buruk yang terjadi dengan Ineth mengingat kondisi keluarga perempuan itu memang sedang tidak baik.

Ia mengecek ponselnya barangkali ada balasan dari pesan yang sudah ia kirim ke Ineth sejak bel masuk berbunyi pagi tadi. Tapi nihil, tidak ada apapun yang setidaknya bisa membuat Arbi tidak cemas lagi.

Arbi mencoba untuk sekali lagi mengirim pesan pada Ineth dan ternyata hanya centang satu yang tertera di samping pesannya. Arbi membuang napas kasar, ia jadi makin khawatir. Jefron memperhatikan wajah kusut temannya lalu ia berusaha untuk membuat Arbi tenang.

"Jef, gue cabut sekarang ya," kata Arbi mengambil kunci motornya di sakut jaket.

Jefron sedikit kaget dengan ucapan Arbi tadi. Jefron tahu, Arbi bukan tipe siswa yang suka bolos pelajaran. Ya walaupun tidak sepenuhnya bolos karena sepuluh menit lagi juga sudah mau istirahat.

"Gila lo. Ini masih pelajaran," balas Jefron dengan suara yang pelan.

"Ah nggak keburu kalau nungguin bel. Sepuluh menit lagi lagian," Arbi seakan tidak peduli dengan ucapan Jefron barusan.

"Duluan, Jef."

Arbi menepuk pelan bahu Jefron sebelum berdiri dari kursinya dan pamit kepada Bu Heni untuk pergi ke belakang. Arbi tidak bilang dengan alasan yang sebenarnya karena bakal memakan waktu yang tidak sebentar kalau harus pakai surat dispen dan sebagainya, jadi ia cuma harus memikirkan bagaimana caranya agar pak satpam membolehkan ia keluar.

Cowok bertubuh tinggi itu berlari kecil menuju parkiran, untung helmnya ia tinggal di sana. Urusan tas atau jaket itu mudah, nanti ia bisa kembali lagi ke sekolah.

Dengan negosiasi yang meyakinkan dari Arbi pada Pak Satpam akhirnya melancarkan Arbi bisa keluar dari sekolah dan motornya ikut bergabung dengan pengendara lain di jalan raya yang padat.

Setelah berhasil menyalip elok di jalanan, tidak lebih dari seperempat jam sampailah Arbi di depan pagar rumah Ineth. Pagar putih yang catnya sudah agak mengelupas itu terbuka sedikit, pintu depan juga terlihat tidak terkunci. Dengan tergesa Arbi menurunkan satu standar motornya di depan rumah Ineth dan segera lari ke dalam.

Dari ruang tamu, laki-laki itu bisa mendengar isakan tangis seseorang. Dengan cepat Arbi melangkah mencari dimana sumber suara tadi, sampai ia bisa melihat dari pintu kamar yang terbuka ada sosok perempuan sedang terkulai lemah di lantai dengan tumpukan baju di sebelahnya. Tidak perlu untuk melihat dua kali, sosok Ineth sudah tampak nyata di depan mata Arbi. Arbi segera berlari menghampiri Ineth dan memeluk gadis itu.

From Earth to Stars||✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang