22. KATANYA PHO

1.6K 187 9
                                    

22. KATANYA PHO

Hari sudah mulai menggelap, petang membayang di ufuk barat. Suara motor milik Arbi terdengar sampai ke lobi bangunan besar warna biru muda bertuliskan Rumah Sakit Jayakarta Medical Center. Arbi memarkirkan sepeda motor lalu melepas helm dari kepalanya.

Cowok itu baru saja mengantarkan Mika pulang setelah menambal ban lalu mendapat pesan dari Rehan tentang kabar Ineth yang sedang dilanda musibah. Mengetahui kabar buruk tentang teman terdekatnya, membuat Arbi ikut cemas dan buru-buru datang ke rumah sakit.

Arbi mengedarkan pandangan memperhatikan manusia yang berlalu-lalang di rumah sakit ini. Melihat seorang perempuan yang sedang duduk di sebuah kursi panjang menolehkan wajahnya ke Arbi membuat langkah Arbi jadi semakin cepat. Dia berlari kecil ke tempat di mana perempuan tadi berada.

"Ineth?"

Ineth langsung berdiri dari duduknya dan mendekat ke arah Arbi.

"Everything is gonna be okay, gurl," ucap Arbi pelan ketika tiba-tiba tubuhnya dipeluk Ineth.

Namun bukannya menjawab, Ineth justru menangis. Arbi semakin tidak tega dan ragu mau berbuat seperti apa.

"Eh ... jangan nangis gitu dong lo," kata Arbi cemas.

"Duduk aja dulu yuk," lanjut Arbi seraya menuntun Ineth untuk kembali duduk.

Di antara perempuan lain di kelasnya, memang Arbi lebih dekat dengan Ineth. Ineth bisa membaur dengan siapa saja, perempuan atau laki-laki. Terlebih kalau masalah Mika, memang Arbi sering curhat ke Ineth, jadi mereka berdua tambah dekat.

"Lo kenapa? Kok sedih sih, lo kan juara satu volinya," kata Arbi sambil menyodorkan segelas akua untuk Ineth. Dia melihat gelas akua di sebelah Ineth yang baru habis seperempatnya.

Ineth meminum air mineral itu masih dengan sesenggukan, dadanya naik turun dan terasa sesak setiap dia ingat ibunya.

"Emang iya, iya gue juara ... ta-tapi," ucapan Ineth berhenti, ia malah menangis lagi.

"Hush, udah dong, cup cup nggak usah nangis." Arbi mengelus sebentar punggung Ineth bermaksud menyalurkan ketenangan untuk perempuan di sebelahnya ini.

"Mama gue sakit, gue menang Bi, tapi rasanya bahagia gue enggak lengkap tanpa papa apalagi mama," jelas Ineth di tengah tangisannya.

Arbi menatap Ineth penuh dengan rasa iba, dia jelas tidak bisa melihat orang terdekatnya bersedih apalagi sampai menangis.

"Mama papa lo ... em." Arbi terlihat berpikir sebelum melanjutkan perkataannya, ia tidak enak untuk bertanya dalam kondisi yang seperti ini.

"Iya, mama papa gue berantem lagi, gue nggak tau apa yang mereka ributin sampai mama gue seemosional itu dan asmanya kambuh, gue nggak tau lagi Bi harus kayak gimana, harus nerimanya tuh kayak gimana," jelas Ineth nada bicaranya terdengar frustrasi.

Ineth pernah bercerita sekilas tentang hubungan orang tuanya yang tidak pernah harmonis kepada Arbi, walaupun hanya sekilas, tetapi Arbi cukup mengerti. Arbi salut dengan Ineth yang selalu sabar menghadapinya dan jarang sekali mengeluh. Arbi bangga memiliki teman seperti Ineth yang tetap berkepribadian baik, memiliki segudang prestasi dengan kondisi keluarganya yang tidak lagi sehangat mentari.

"Yang sabar ... kayak lo biasanya, doain nyokap biar cepet pulih, doain nyokap bokap biar cepet baikan, doain diri lo biar tetep sabar," nasihat Arbi secara tulus.

"Gue tuh cuma capek, Bi ... sabar sabar terus, gue capek, lo ngerti kan ..." sahut Ineth sendu.

Arbi menghembuskan napas, bingung harus menyikapi seperti apalagi. Karena terkadang, seseorang hanya butuh didengarkan, bukan untuk diberi saran ataupun wejangan.

From Earth to Stars||✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang