38. LANGIT MALAM

1.4K 176 28
                                    

38. LANGIT MALAM

Mika garuk-garuk kepala, benar-benar kepalanya sudah pening mengerjakan soal latihan fisika.

Sedari tadi dia hanya berhenti di satu nomor yang belum ia temukan apa jawabannya. Dia jadi tidak semangat mengerjakan lagi. Mika merebahkan punggungnya ke belakang kursi, menghela napas.

Kamarnya terlihat redup karena Mika sengaja untuk menyalakan lampu belajar saja. Ia melirik ke jam yang tergantung, sudah hampir pukul sebelas. Kemudian pandangannya kembali kosong, pikirannya entah memikirkan apa sampai tiba-tiba mata Mika menemukan ponselnya menyala memperlihatkan jika ada telepon yang masuk. Tertera nama kontak Arbi di sana. Dia mengangkatnya lalu menyapa Arbi seperti biasa.

"Hai, Ju. Tumben nelepon, kenapa?" tanya Mika seolah lupa dengan soal-soal fisika tadi.

"Nggak boleh ya? Ya udah, gue tutup deh," jawab Arbi berlagak mau memutus sambungan teleponnya.

"Eh, jangan dong jangan! Mika lagi capek abis ngerjain latian soal tapi nggak ketemu jawabannya," kata Mika mendadak curhat.

Terdengar kekehan dari seberang. Di balkon kamarnya Arbi tidak berhenti tersenyum sejak pertama suara Mika terdengar di sambungan telepon.

"Kalau udah capek nggak usah dipaksa, kalau sakit nanti bikin repot. Jangan sakit ya?" Arbi berucap lembut.

Hati Mika seketika menghangat. Ia senang bisa diperhatikan seperti ini, meski hanya lewat kata sederhana tapi cukup membuat lelahnya seakan terlupa. Arbi yang terlihat cuek sebetulnya punya rasa peduli yang tidak tahu harus diungkapkan seperti apa caranya.

"Tenang tenang, Mika ini jarang sakit loh alhamdullillah. Kalau Salju mau tau, Mika terakhir sakit itu dua tahun lalu waktu masih kelas sepuluh."

Mata Arbi terbelalak mendengar pengakuan Mika. Bahkan dirinya gampang pilek kalau kena air hujan.

"Masa? Kalau pilek juga nggak pernah?"

Dari jauh Mika menggelengkan kepala. "Jarang. Mika udah kebal dari virus, bakteri, tungau, dan cacing di perut. Bahkan saking nggak pernahnya sakit, bagi Mika, Mika baru ngerasa sakit itu kalau Mika udah demam. Pilek, batuk, atau apa nggak terhitung."

"Lo kayak baja ya, tahan dari segala cuaca," jawab Arbi asal.

"Iya. Keren kan! Salju belum tahu, selain jadi Putri Salju, Mika juga merangkap sebagai Ibu Peri yang nyembuhin orang-orang di bumi."

Arbi tersenyum mendengarnya. Cowok itu tidak berniat memprotes imajinasi Mika yang menganggap diri sendiri sebagai Ibu Peri, karena Arbi pun setuju dengan anggapan itu.

"Mungkin kalau lo reinkarnasi, Tuhan bakal kasih lo kesempatan untuk jadi Ibu Peri," ujar Arbi.

"Mika nggak mau reinkarnasi."

"Kenapa?" Arbi tertarik untuk mendengar alasan Mika.

"Kalau Mika lahir lagi jadi orang yang lain, jadi Ibu Peri, mungkin Mika nggak akan kenal Salju lagi."

Jawaban Mika mengalir begitu saja, tidak perlu menyusun kalimat karena Mika hanya sedang mengikuti kata hatinya.

Arbi terdiam, tidak menyangka bahwa Mika akan berpikir sampai sana padahal dialog tadi masih dalam konteks canda serta imajinasi.

"Mika," panggil Arbi.

Pandangan Arbi sekarang menghadap ke depan, menatap rumah tetangganya yang sudah sepi pertanda penghuninya sedang menjelajah ke alam mimpi. Lampu yang menerangi jalan terkerubungi keluarga laron.

"Gue lagi di balkon ngelihatin gue," lanjut Arbi yang jawabannya membuat kening Mika berkerut.

"Di balkon sambil ngaca?" nada bicara Mika meminta Arbi untuk memberinya penjelasan lebih.

From Earth to Stars||✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang