8. PERMINTAAN DINO

2.2K 323 68
                                    

8. PERMINTAAN DINO

"Assalamu'alaikum Akhi, Ukhti!"

Mika melangkah masuk ke dalam kelasnya, memberi senyum kepada teman-temannya yang sudah berangkat, kemudian meletakkan tas di bangku.

"Kesha, nggak ada PR, kan?" tanya Mika datang ke tempat duduk Kesha, si juara kelas.

"Ada," jawab Kesha. Mika mengernyit.

"Apaan, Kesh? Fisika nggak ada, seni budaya enggak, mat—

"Belajar," Kesha memutus ucapan Mika yang malahan mengabsen mata pelajaran hari ini.

Mika mendengus. Dia heran, belajar saja termasuk ke dalam daftar pekerjaan rumah. Mika geleng-geleng, jujur dirinya sedikit tertekan masuk ke dalam kelas ini, kelas yang katanya unggulan selain MIPA 6. Di sini, Mika kurang merasakan sebuah solidaritas serta kehangatan seperti saat dia di kelas sepuluh.

Sekolah Mika memang menerapkan sistem rolling kelas setiap tahunnya. Kelas sepuluh, di sekolah dia benar-benar nyaman dan kerasan, semua teman-temannya menyenangkan.

Naik kelas sebelas, dia masuk kelas unggulan. Mika benar-benar tidak bisa beradaptasi selama satu tahun di kelas sebelas, sampai dia berharap, semoga kelas dua belas dia tidak termasuk dalam daftar siswa pintar. Meski Mika juga masih ragu tentang kata pintar untuk dirinya.

Tapi sepertinya takdir tidak mengizinkan. Mika masuk kelas unggulan lagi. Artinya, dia harus berjuang menghadapi ujian besok bersama para temannya si pengabdi Einstein.

"Yaelah, Kesha kirain PR apaan tahu. Ya udah, gue keluar dulu ya, Kesh."

Kesha tersenyum tipis, kemudian Mika melangkah keluar, duduk di kursi depan kelas mengamati segelintir orang yang baru berangkat ke sekolah. Sebenarnya, dia duduk di depan seperti sekarang, supaya kalau Arbi berangkat, dia bisa lihat dan langsung menyapa.

Perempuan itu mengetuk-ngetukkan sepatunya ke lantai, badannya sedikit bergoyang ke kiri dan ke kanan sambil menyanyikan sebuah lagu. Walaupun suaranya tidak begitu jelas karena mulutnya juga sedang mengemut permen kaki warna merah.

Pandangan Mika tiba-tiba tertuju kepada seorang pria berambut putih yang tidak terlalu lebat, tubuh tinggi, dan bajunya agak longgar. Usianya kira-kira lima puluh tahunan. Sosok pria itu masuk ke dalam kelas Mika yang belum banyak penghuninya, berhubung bel masuk juga masih dua puluh menit lagi.

Mika beranjak dari kursi dan mengekori pria tadi. Ia duduk di bangku yang masih kosong, tepat di belakang Kesha.

"Nah, ini hasil tugas kelompok kalian yang kemarin waktu bapak nggak masuk. Ada dua kelompok dapat nilai di bawah KKM, bisa remidi nanti saat pelajaran bapak. Tolong Kesha atau siapa saja sampaikan ke teman yang belum berangkat. Terima kasih."

Pak Ham keluar, kemudian beberapa anak yang sudah berangkat langsung mengerubungi meja Kesha, mencari kertas bertuliskan nama mereka. Banyak yang berseru kegirangan saat melihat nilainya, mungkin yang remidi belum pada berangkat.

Mika sendiri masih duduk di belakang Kesha, mau mengambil terakhiran saja. Dia sudah bisa menebak, pasti nilainya seperti biasa. Buruk.

"Ka, ini punya lo. Nggak diambil?" tanya Kesha menoleh ke belakang sambil mengangkat secarik kertas.

"Entar lah, gue udah hapal, pasti lima puluh deh," jawab Mika tersenyum memaksa.

Mood Mika bisa seketika berubah kalau sudah berhubungan dengan matematika.

"Bener, nih nggak mau? Padahal nilainya bagus loh," kata Kesha.

Mika tertawa hambar mendengar penuturan Kesha. "Hm. Nggak usah merendah kali Kesh, hehehe, bagusan juga punya lo."

From Earth to Stars||✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang